Udara Gerah


BEBERAPA hari terakhir ini udara terasa gerah. Sumuk, orang Jawa bilang. Sinar Matahari terasa menggigit, terutama pada siang hari. Malam pun tak jauh beda, apalagi tanpo udan (tanpa hujan) dan minim belaian angin. Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) bilang cuaca panas akhir-akhir ini terjadi karena Indonesia mulai memasuki musim kemarau. Sepintas ini fenomena biasa, lumrah.

Barangkali yang tidak biasa ialah kadar panasnya. Menurut catatan lembaga pemantau cuaca pimpinan Dwikorita Karnawati itu, sepanjang 1-7 Mei tahun ini suhu maksimum di Indonesia antara 33 derajat hingga 36,1 derajat celsius. Padahal, umumnya suhu rata-rata yang hampir terjadi sepanjang tahun di negeri yang beriklim tropis seperti Indonesia berkisar antara 29-30 derajat celsius. Itu pun sudah lumayan menyengat.

Makanya, tak heran jika suhu yang rada tidak biasa ini kemudian jadi perbincangan banyak kalangan, termasuk warganet. Seorang rekan di grup percakapan memprediksi fenomena ini akan mendongkrak biaya token listrik. Maksudnya, untuk mengusir gerah, orang tentu akan menggeber pemakaian pendingin ruangan atau minimal kipas angin yang ujungnya mendongkrak konsumsi listrik. Sepintas ini juga wajar. Solusi instan ala manusia modern.

Padahal, justru di sinilah salah satu pokok persoalannya. Penggunaan AC (air conditioner) merupakan salah satu faktor yang turut berperan memicu meningkatnya suhu di planet ini. Mesin pendingin ruangan itu mengandung chlorofluorocarbo atau yang biasa disebut freon yang dapat merusak ozon. Ditambah polusi asap pabrik, knalpot kendaraan, gas metana yang dilepaskan industri peternakan, dan berbagai aktivitas industri lainnya, lapisan atmosfer kini semakin menganga.

Ini mungkin yang kurang disadari manusia. Kesenangan duniawi membuat mereka lalai membaca fenomena alam. Padahal, kebudayaan kita sangat tergantung pada lingkungan alam sekitar. Sistem pertanian dalam masyarakat agraris, misalnya, dibentuk dan bergantung pada siklus iklim. Evolusi ini telah berlangsung sejak berabad silam. Sebagian besar studi iklim mengungkap sebelum era praindustri, proses pemanasan atau pendinginan suhu di planet ini berlangsung lambat.

Sekarang segalanya berubah. Pernyataan Iklim Global 2021 dari Organisasi Meteorologi Dunia menunjukkan suhu rata-rata pada 2020 sekitar 1,1 derajat celsius lebih tinggi dari suhu rata-rata selama periode 1850-1900. Karena meluasnya penggunaan bahan bakar fosil dalam peradaban mekanik pascaindustri, pertumbuhan gas rumah kaca di atmosfer semakin cepat. Akibatnya, suhu di bumi pun meningkat pesat.

Para pemimpin dunia, melalui Konferensi Perubahan Iklim PBB di Paris pada 12 Desember 2015, pun akhirnya bersepakat menjaga kenaikan suhu global di bawah 2 derajat celsius agar iklim tidak semakin kacau. Hal tersebut semakin menegaskan pemanasan global terjadi sebagai akibat dari ulah manusia yang kian agresif mengeksploitasi alam.

Semestinya kitalah yang beradaptasi bukan malah mengeksploitasi alam secara berlebihan. Hidup di iklim tropis yang berlimpah sinar mentari dan hujan, serta belaian angin dari jutaan pepohonan malah mendirikan bangunan beton berpendingin udara yang ditempatkan di segala sudut ruang. Dari bangun tidur, berangkat ke kantor, hingga tidur lagi, selalu berselimut udara yang direkayasa. Belum lagi konsumsi energi yang meninggalkan jejak karbon untuk menunjang mobilitas dan kesenangan, baik melalui penggunaan mobil pribadi maupun pesawat terbang.

Bagi para sultan yang bergaya hidup semacam itu, fenomena cuaca yang terjadi akhir-akhir ini barangkali cuma sebatas berita. Masyarakat kebanyakan seperti kita inilah yang betul-betul merasakan dampaknya. Oleh karena itu, mulai sekarang, mari kurangi konsumsi energi. Apalagi yang berdampak pada kerusakan alam.






Source link

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Translate »