Tantangan Global dan Urgensi Konsolidasi Fiskal


PEMERINTAH baru saja menyampaikan Kerangka Ekonomi Makro dan Pokok-Pokok Kebijakan Fiskal (KEM PPKF) 2023 kepada Dewan

Perwakilan Rakyat (DPR) sebagai bahan pembicaraan awal dalam rangka penyusunan Nota Keuangan, serta Rencana Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara tahun 2023.

Penyusunan KEM PPKF tahun ini menjadi demikian krusial mengingat beberapa hal. Pertama, KEM PPKF 2023 disusun pada saat pandemi

covid-19 telah menginjak tahun ketiga dan diyakini memasuki tahap transisi ke endemi. Oleh karena itu, KEM PPKF 2023 didesain searah dengan tahapan transisi serta arah perubahan baru yang muncul akibat pandemi covid-19.

Kedua, penyusunan KEM PPKF 2023 juga dilakukan pada saat lingkungan ekonomi global sedang dalam gejolak dan ketidakpastian tinggi. Ada dua tantangan besar yang sedang dihadapai saat ini; lonjakan inflasi global, terutama akibat perang Rusia–Ukraina, dan percepatan pengetatan kebijakan moneter global, khususnya di Amerika Serikat (AS).

Ketiga, KEM PPKF 2023 juga dipersiapkan sebagai baseline baru kebijakan makro fiskal pasca implementasi UU No 2 Tahun 2020. Sebagaimana diamanatkan dalam UU No 2 Tahun 2020, defisit APBN diperbolehkan berada di atas 3% PDB selama tiga tahun, 2020–2022 sehingga harus kembali di bawah 3% PDB di tahun 2023.

Tantangan berat 2023 

Konflik Rusia–Ukraina telah menyebabkan disrupsi di sisi supply menjadi semakin parah. Sehingga, mendorong kenaikan ekstrem harga-harga komoditas global. Kondisi ini telah menyebabkan kenaikan inflasi yang sangat tinggi di banyak negara. Laju inflasi di AS telah mencapai 8,3%, rekor tertinggi dalam 40 tahun terakhir. Laju inflasi di Argentina dan Turkey bahkan mencapai, masing-masing 58% dan 70%.

Tingginya inflasi global, khususnya di AS, telah mendorong the Fed mulai mempercepat pengetatan kebijakan moneternya. Sejumlah negara berkembang G-20, seperti Brasil dan Meksiko, bahkan telah melakukan antisipasi dengan menaikkan suku bunga acuannya sejak awal tahun 2021. Pengetatan kebijakan moneter global tersebut tentu saja berdampak pada kenaikan biaya dana (cost of fund) untuk pembiayaan, baik APBN maupun korporasi di Indonesia.

Kenaikan suku bunga acuan the Fed yang lebih tinggi dari perkiraan sebelumnya telah menimbulkan goncangan di pasar modal di banyak negara berkembang. Aliran modal keluar (capital outflow) dari negara berkembang tak terhindarkan. Harga saham berjatuhan di banyak negara, sementara yield obligasi juga mengalami kenaikan tajam. Imbasnya, nilai tukar sebagian besar negara berkembang mengalami pelemahan.

Kombinasi tingginya suku bunga global dan kuatnya dollar AS menjadi risiko yang harus diwaspadai. Dalam artikelnya di the Jakarta Post (30 Mei), Profesor Jeffrey Frankel menyebutkan bahwa kebijakan suku bunga tinggi dan nilai dolar yang kuat (strong dollar) merupakan strategi AS mengatasi inflasi tinggi yang akan berdampak luas pada perekonomian global. Problem besar akan dihadapi oleh negara berkembang; aliran modal akan kembali ke AS, likuiditas menjadi terbatas, biaya utang meningkat, nilai mata uang lokal melemah, dan inflasi meningkat

signifikan. Akibatnya, proses pemulihan ekonomi dari krisis pandemi yang masih dalam tahap awal dan rentan menjadi terhambat.

Implikasi bagi APBN

Perkembangan dan prospek ekonomi global tersebut berpengaruh besar terhadap postur APBN, baik di sisi pendapatan, belanja, maupun pembiayaan. Dari sisi pendapatan, kenaikan harga komoditas global yang sangat tinggi berdampak positif bagi Indonesia. Pendapatan negara, baik dari perpajakan dan PNBP, meng alami peningkatan pesat sejak pertengahan tahun 2021. Dari sisi belanja, tingginya harga komoditas, khususnya energi, menyebabkan subsidi energi dan juga kompensasi untuk Pertamina dan PLN juga melonjak. Hal ini terutama setelah pemerintah memutuskan untuk tidak melakukan penyesuaian harga jual BBM dan listrik di dalam negeri meskipun harga keekonomiannya sudah naik sangat tinggi.

Demikian juga, dengan pembiayaan yang menghadapi tantangan besar dengan semakin ketatnya likuiditas, meningkatnya suku bunga, mulai bertumbuhnya kredit perbankan di dalam negeri, serta tren melemahnya nilai tukar rupiah.

Pendek kata, APBN dihadapkan pada akses pembiayaan yang semakin terbatas, serta beban pembayaran bunga utang dan cicilan pokok (debt services) yang semakin besar.

Oleh karena itu, kebijakan konsolidasi fiskal, yakni mengembalikan defisit ke level di bawah 3% PDB, sebagaimana diusulkan dalam Kerangka Ekonomi Makro dan Pokok-Pokok Kebijakan Fiskal (KEM PPKF) 2023, sungguh sangat tepat. Pertama, secara akumulatif defisit APBN yang dibutuhkan untuk menghadapi pandemi, melindungi masyarakat dan dunia usaha, serta memulihkan ekonomi selama periode 2020 – 2022 diperkirakan akan mencapai sekitar 15% PDB, dengan total tambahan utang pemerintah mencapai 12% PDB. Oleh karena itu, konsolidasi fiskal akan dapat mengurangi tekanan dan menyehatkan kembali posisi fiskal Indonesia. Meskipun kondisi fiskal kita jauh lebih baik (rasio

utang jauh di bawah 60% PDB) jika dibandingkan sebagian besar negara berkembang lainnya, kapasitas fiskal untuk mendukung pencapaian sasaran-sasaran pembangunan jangka menengah panjang, serta untuk mengemban peran sebagai shock absorber perlu terus diperkuat.

Kedua, pembiayaan APBN dihadapkan pada tantangan besar dengan yield obligasi pemerintah yang cenderung meningkat, dan diperkirakan akan terus meningkat di tahun 2023, seiring dengan rencana kenaikan suku bunga acuan, serta kebijakan dollar kuat (strong dollar policy) AS. Selain itu, sesuai dengan mandat UU No 2 Tahun 2020, juga mengamanatkan berakhirnya dukungan pembiayaan dari Bank Indonesia melalui skema burden sharing.

Oleh karena itu, di satu sisi, akses ke sumber pembiayaan menjadi lebih mahal dan terbatas, di sisi lain beban pembayaran bunga dan cicilan pokok utang juga menjadi lebih besar akibat depresiasi rupiah. Menurunkan defi sit sampai di bawah 3% PDB, berarti akan mengurangi secara signifikan kebutuhan pembiayaan APBN.

Ketiga, pada saat ekonomi nasional semakin pulih dari krisis akibat pandemi, itulah alarm bagi pemerintah untuk mengurangi stimulusnya. Hal ini untuk memberikan ruang yang lebih besar bagi sektor swasta untuk semakin pulih. Kebijakan fiskal yang terlalu ekspansif akan menyedot sumber pembiayaan sektor swasta, atau dikenal dengan istilah crowding out effect.

Selama pandemi, sebagian besar dana perbankan ditempatkan pada surat utang negara (25% dari total outstanding SBN) karena tingginya risiko kredit. Saat ini kredit perbankan mulai tumbuh positif seiring dengan semakin pulihnya perekonomian. Hal ini juga berarti bahwa ketersediaan sumber pembiayaan defisit menjadi terbatas. 

Ketidakpastian global yang tinggi saat ini, memang menimbulkan dilema dan kompleksitas bagi pengelolaan kebijakan ekonomi makro. Meskipun demikian, memperkuat kemampuan dan kapasitas APBN sebagai instrumen shock absorber melaluistrategi konsolidasi fiskal menjadi pilihan kebijakan Pemerintah yang sangat realistis.






Source link

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Translate »