Syarat Indonesia Bangun Industri Mobil Listrik, Pengamat: Tidak Cukup Hanya Nikel


TEMPO.CO, Jakarta – Ekonom sekaligus Direktur Center of Economic and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira mengatakan pemerintah perlu mencermati kebijakan hilirisasi. Menurutnya, pemerintah tidak boleh jumawa hanya karena Indonesia memiliki kekayaan sumber daya, seperti nikel. “Bukan berarti kita punya nikel, lalu investor memilih membangun pabrik mobil listrik di Indonesia,” ujar Bhima kepada Tempo, Kamis malam, 13 Juli 2023.

Menurut Bhima, kepemilikan akan bahan baku bukan menjadi hal utama yang bisa memancing investor masuk. Sebab, investor juga mempertimbangkan hal lain di luar aspek bahan baku. 

Investor, kata Bhima, akan cenderung memilih negara dengan kemampuan tinggi dalam berinovasi untuk dijadikan sebagai basis produksi. Selain itu, memiliki kedekatan dengan pasar. 

“Sekarang (pasar mobil listrik) masih di Cina, Skandinavia, Eropa, Amerika. Jadi, mungkin mereka lebih tertarik membangun (pabrik) di India, Cina, atau Vietnam,” kata Bhima.

Bhima juga mengatakan, dalam produksi mobil listrik, sebenarnya nikel bukan komponen yang paling mahal. “Yang mahal adalah inovasinya, teknologinya,” kata dia. 

Artinya, lanjut Bhima, pemerintah seharusnya tidak hanya berfokus pada program larangan ekspor. Namun, perlu memperhatikan kesiapan dalam inovasi dan teknologi. Toh, kata dia, melarang ekspor komoditas belum tentu menyelesaikan masalah.

Misalnya, soal kebijakan larangan ekspor gas alam yang baru-baru ini diwacanakan pemerintah. Rencana sudah beberapa kali disampaikan Menko Marves, Luhut Binsar Pandjaitan. Dia mengatakan bakal mengusulkan penyetopan ekspor tersebut kepada Presiden Jokowi.

Iklan

Luhut mengatakan gas dari dalam negeri tersebut akan diolah menjadi produk petrokimia. Bersamaan dengan penghiliran tersebut, pemerintah akan meninjau struktur harga gas agar bisa ditekan dari US$ 6 per MMBTU menjadi US$ 5 per MMBTU.

Bhima menilai langkah baru ini tak menjamin dampak positif bagi perekonomian nasional. Yang sudah menanti, kata dia, justru gugatan di World Trade Organization (WTO). “Itu memakan waktu lama. Dan beberapa gugatan Indonesia juga kalah, seperti nikel. Kita bisa mengulang kejadian yang sama,” tutur Bhima.

Di sisi lain, hilirisasi gas alam melalui skema penghentian ekspor tidak menjamin penurunan gas industri dalam negeri. “Karena tata niaga gas yang sejak dulu bermasalah. Itu yang membuat harga gas industri mahal,” ucap Bhima. Artinya, pelarangan ekspor gas alam tanpa perbaikan tata niaga tidak akan menyelesaikan masalah ini.

Lebih lanjut, Bhima mengingatkan bahwa sejumlah perusahaan pengguna gas alam, seperti perusahaan pupuk, mulai beralih dan mencari alternatif gas yang lebih bersih. Walhasil, investasi digeser ke clean ammonia. “Jadi, nanti siapa yang pakai gas ini kalau ekspornya dilarang? Itu yang mesti dipikirkan,” ucap Bhima.

Pilihan Editor: Harga Ayam Tembus Rp 90 Ribu per Kilo, Ikappi: Distribusi Lebih Banyak ke Perusahaan Besar

 

 

 





Source link

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Translate »