Sajak-sajak Iwan Jaconiah 


Ilustrasi: Resiyaman Patrick 

Badai di Tanah Berbatu 

Kabut menutupi mata 

membutakan mata hati 

ular ular tak lagi melata 

berbuat baiklah sebelum mati. 

Indonesia, 1 September 2022 

 

Tidal Bore 

Jika waktu usai 

izinkan aku jadi dirimu 

          di pengujung usia 

saat semua sudah di dasar cawan 

Jika arus laut terbelah 

biarlah tidal bore menari ria 

sebab dalam ombak, sapuan amuk 

telah pisahkan karang dari gunung. 

Cult, 9 September 2022 

Kemarau Mekar di Pulau 

Tujuh purnama berganti warta 

saat tiba aku di beranda rumah 

panen ini musim dibawa ke kota 

Hasilnya buat ganti pupuk di sawah 

Kemarau berikut; entah tiba 

lama atau cepat, tak tahu aku 

air selokan mengalir riak, juga 

mengganti warna rerumputan baru. 

Tiga belas anak mata hari terlanjur berduka 

menanti hujan, terombang ambing perahu; 

sapi sapi lupa kandang, begitu pula kita 

memeras hutan; punah cendana, gaharu. 

Hawa panas menyelimuti huma 

kapas kapas melayang lalu pecah 

bayangan cahaya berbelok ke muara 

berharap gerimis lebih cepat ganti arah— 

lautan sudah menjelma daratan di mata. 

Cult, 27 Agustus 2022 

Romansa 

Hutan bonsai mengajari kesetiaan, 

sabar menahan angin di lembah Mutis. 

Menuntun kepandaian yang lembut— 

menopang badai agar berarak mulus. 

Aku melihat rusa rusa 

                lebah lebah 

        kakatua kakatua 

berdansa sepanjang musim 

membuka labirin di ingatan lampau. 

Hutan bonsai mengajari kesetiaan, 

sabar menahan angin di lembah Mutis. 

Mewartakan kesejukkan—alam lestari 

menjaga warisan leluhur berakar keberanian. 

Air beriak mengikuti arus, 

membawa pesan ke muara 

sungai bertaburan dedaunan kering; 

aku pungut, simpan di almari 

sebagai oleh oleh masa penghujung. 

Cult, 24 Agustus 2022 

 

Embun yang mengalir dari keringatku adalah sabda. 

Petani Lupa Usia 

77 tahun sudah usiamu 

subuh mengayuh sepeda ke ladang. 

Entah berapa banyak bulir bulir padi 

kau tabur, sampai lupa hari kemenangan. 

Semusim berganti begitu saja 

tak pernah kulihat keluh kesahmu; 

hanya kerja keras jadi pedoman 

bagi orang muda. 

77 tahun sudah usiamu 

menjaring angin di ujung tongkat 

tubuh reot, bungkuk bukan halangan—  

nyali memang besar, meski nyawa kecil. 

Mata hari perlahan merunduk 

dari balik dedaunan menguning. 

kau masih terdiam memundak— 

sapi sapi pulang ke kandang 

mengikuti jalur air di waduk. 

Bintang senja berkedip kedip 

mengirimkan pesan akan musim panen 

kabarnya; hujan telah menjelma cuka— 

mengeringkan dukaku, membasahi lukamu. 

Kau teguh bersabar, menangkis 

gelombang amarah dengan doa 

sedang taufan tenang kian mengikis 

kuasa laut, muasal sabda. 

Cult, 24 Agustus 2022 

Dusun Tanpa Penghuni 

Musim baharu menghijau di ladang 

kuda kuda tak henti henti merumput 

sepasang angin puyuh pun bergading 

hari hari perlahan lahan kian tercabut. 

Ini tubuh menerima pesan dari gunung;  

tentang ikan ikan yang melupakan rasi,  

sedang mata mencari arah ke seberang 

saat burung burung lupa bermigrasi— 

Bambu merunduk dan menguning 

kita tiba di gerbang bercadar kabut 

rumah rumah tanpa lumbung jagung 

panas pisahkan daratan dari gambut. 

Kemarau terasa begitu lonjong, 

memisahkan tungku, kuali, nasi— 

pemuda pemuda melupakan nasib 

memungut sampah penuh gelembung. 

Cult, 23 Agustus 2022 

Gadis Pemetik Api 

Badai memudari jejak ari ari; 

tak pernah siang, tak pernah malam 

darah membeku di jemari jemari 

perlahan karat bersama logam 

Pemanasan global bersiul ketuk pintu, 

tidak dapat diubah pada skala waktu. 

Kita hidup ini hari, lusa generasi baru 

bersiap-siap melangkah di batas ragu. 

Kulihat es es menguap di lepas Murmansk 

permukaan laut perlahan gapai langit. 

Gletser dan bongkahan es sirna di Arkhangelsk 

gelombang panas bertubi tubi beraroma sengit. 

Bergulir serupa langkah pion pion merapal skak 

hingga membakar sabana Sumba begitu legit— 

yang membuat tubuhnya bengkak. 

Badai memudari tapal hari; 

tak ada siang, tak ada malam. 

“Kenaikan suhu, efek gas rumah kaca, 

pulau tenggelam. Anomali cuaca tak 

bisa kita cegah.” 

Kupikir pikir laut tak seramah sungai 

usia kian merunduk bagai dedaunan oak. 

Tanah tanah retak, hutan hutan terpetak 

cuma cerita seorang gadis tak kembali; 

ia lupa Ibu dan saudara sedarah kakek. 

Badai memudari kuncup hari; 

—tak siang, tak malam. 

mematikan kuncup kuncup api, 

memisahkan benih musim tanam. 

Indonesia, 19 Agustus 2022 

Embun 

Embun yang mengalir dari keringatku adalah sabda. Perlahan membasahi tubuh dan tanah. 

Panas yang menggumpal dari tubuhku serupa rebusan air sungai; berharum angin, bertunas angan. 

Embun dan panas menjadi satu dalam langkah; menyemai bulir-bulir merah, menanti sisa musim panen yang basah. 

Aroma-aroma bersenggolan dalam kebun kopi, yang butir butirnya disemai dari hutan hutan sepi. 

Teguk perlahan sebelum ampas jadi gulma kenangan. Tuang pertama bagi tuan sebelum dikecup jadi redup. 

Indonesia, Januari 2022 


 

Baca juga: Sajak-sajak Sutardji Calzoum Bachri 
Baca juga: Sajak-sajak Acep Zamzam Noor 
Baca juga: Sajak-sajak Putu Oka Sukanta 

 

 

 


Iwan Jaconiah, penyair, kulturolog, dan wartawan Media Indonesia. Ia adalah kurator antologi puisi Doa Tanah Air: suara pelajar dari negeri Pushkin (Pentas Grafika, Jakarta, 2022) dan penulis buku seni rupa Lukisan Wiwik Oratmangun (Pentas Grafika, 2022). Dalam dunia perpuisian, ia didapuk sebagai pesastra Indonesia pertama peraih Diploma of Honor Award untuk puisi Bumi pada X International Literary Festival «Chekhov Autumn» di Yalta, Krimea, Rusia (2019) dan Diploma Award untuk puisi Langit Pasifik pada International Poetry Festival «Taburetka» di Monchegorsk, Murmansk Oblast, Rusia (2017). Puisi-puisi di sini disajikan dalam rangka merayakan Festival Bahasa dan Sastra Media Indonesia 2022. (SK-1) 



Source link

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Translate »