Renungan dari Sebuah Jalan


PENGHUJUNG 1996, misionaris Pater Amans Laka SVD meninggalkan tanah kelahirannya di Kabupaten Timor Tengah Selatan, Nusa Tenggara Timur. Dia menempuh perjalanan kasih yang amat panjang menuju Argentina untuk memberitakan kabar baik kepada orang-orang di sana.

Bukan di Buenos Aires, ibu kota Argentina. Ia diutus ke sebuah paroki di pedalaman utara negara itu bernama San Jose Obrero Bernardo Irigoyen. Paroki itu ada di Provinsi Misones yang ibu kotanya Posadas.

Butuh 15 jam perjalanan dari Buenos Aires ke paroki tersebut, atau sekitar 200 kilometer dari Puerto Esparanza, nama kota sekaligus kabupaten yang kelak, beberapa dekade kemudian, mengabadikan nama Pater Amans Laka sebagai salah satu nama jalan di sana.

Pemberian nama Jalan Amans Laka sepanjang 4 kilometer pada 28 Desember 2007 lewat Dekret Nomor 56 Tahun 2007 sebagai pengakuan dan terima kasih dari negara atas kerja-kerja kemanusiaannya, terutama di bidang pendidikan. Dari catatan yang ada, hanya Pater Amans Laka dan Presiden Joko Widodo yang namanya dijadikan nama jalan di luar negeri. Nama Jokowi jadi nama jalan di Abu Dhabi, Uni Emirat Arab.

Kisah pemberian nama jalan dan rentang hidup Pater Amans sebagai imam misionaris di Argentina, bahkan juga sampai ke Kuba, dibukukan dengan judul Jalan sambil Berjalan. Buku itu ditulis Robert Bala, dosen Trisakti International dan Binus International School BSD, Jakarta.

Buku biografi historis pastoral misioner setebal 265 halaman itu dikemas dalam 26 cerita inspirasi, diterbitkan Penerbit Kanisus, Jakarta, 2022. Di antaranya cerita tentang kegembiraan di masa kecil bermain bola plastik dan mengelola beras 20 kilogram untuk kebutuhan selama satu bulan di asrama. Kegembiraan berbagai bersama teman-teman, peranan dalam pementasan kitab suci, kegembiraan sederhana di depan altar Tuhan sampai perjalanan menuju cita-cita menjadi pastor.

Buku Jalan sambil Berjalan dibedah akademisi, pastor, dan pemerintah pada Sabtu (7/5) di Auditorium Universitas Katolik Widya Mandira Kupang dengan moderator Tony Kleden, yang juga teman sekolah Pater Amans dan ketua panitia Isodorus Lilijawa.

Bedah buku itu juga menghadirkan tokoh masyarakat asal Timor Tengah Utara, Frans Xaverius Skera, Wakil Gubernur NTT Josef Nae Soi, dan Rektor Universitas Katolik Widya Mandira Kupang Pater Philipus Tule SVD.

“Sebagai putra NTT, saya bangga dan memberikan apresiasi yang luar biasa. Banyak di antara kita jalan, tapi tidak sadar kita sedang berjalan,” ujar Josef saat bedah buku.

 

Membangun sekolah

Setelah berkarya bersama imigran asal Eropa di Bernardo Irigoyen, Pater Amans pindah ke Paroki San Andres Apostol Almirante Brown selama satu tahun. Di wilayah itu terdapat air terjun raksasa, Iquazu Falls, yang berbatasan dengan Brasil.

Ide membangun sekolah bagi anak-anak baru tebersit setelah berada di paroki kedua. Meski demikian, sekolah itu baru terwujud setelah ia pindah ke paroki ketiga, yakni San Nicolas Puerto Esperanza.

“Saat (mau) dirikan sekolah, saya bertanya kepada Bapak Uskup, beliau bilang tidak bisa lagi karena sekolah paroki sudah banyak, tapi, sudahlah, saya memberikan sesuatu yang kamu tidak menyesal. Saya memberikan berkat,” kata Pater Amans lewat video yang diputar saat bedah buku tersebut.

Saat itulah, Pater Amans berlutut untuk menerima berkat dari uskup. “Saya bilang kalau selesai (dibangun), Bapak Uskup yang memberkati sekolah ini,” kenangnya.

Pulang dari bertemu uskup, Pater Amans mulai bekerja. Ia akhirnya berhasil membangun dua sekolah sekaligus di lokasi berbeda hanya dalam tempo lima bulan.

Pertama, Sekolah Pertanian Keluarga (Escuela Familia Agricola/EFA) Santo Arnoldus Jansen dibangun di Puerto Esperanza. Satu lagi, EFA Santo Yosef Freinademetz, dibangun di Curuguatay, jaraknya sekitar 70 kilometer.

Mengapa sekolah pertanian? Dalam buku itu, disebutkan Kota Puerto Esparanza yang dibangun imigran Swiss pada 1926 memiliki potensi pertanian yang besar. Banyak pekerja asal Paraguay yang berbatasan dengan kota itu datang ke sana untuk bekerja sebagai petani di area pertanian yang sangat luas.

Nah, tidak sedikit anak-anak yang ikut orangtua mereka yang bekerja di area pertanian yang cukup jauh dari area perkebunan. Lantaran jarak yang cukup jauh tersebut, anak-anak membutuhkan model sekolah yang bisa menjawab kebutuhan mereka, yaitu sekolah yang mengajarkan pertanian, tetapi tetap memungkinkan mereka untuk bersama orangtua mereka.

Model sekolah itu ialah bersekolah selama dua minggu dan tinggal di asrama kemudian selama dua minggu pula, mereka pulang ke area pertanian untuk mempraktikkan apa yang dipelajari di sekolah bersama orangtua. Model itu oleh para petani dinilai cocok.

Selama dua minggu di sekolah pun, anak-anak tidak hanya menerima mata pelajaran seperti biasanya, tetapi diajarkan memproduksi secara metodis dengan kemajuan teknologi, produksi dan elaborasi produk. Pengetahuan itu mereka bawa pulang ke area pertanian dan peternakan.

Tentu saja Pater Amans tidak bekerja sendiri. Dia dibantu 15 imam yang disebutnya sebagai tim, dalam melaksanakan pembinaan dan misa.

Sementara itu, lokasi sekolah satunya, Curuguatay, dikenal sebagai tempat bersejarah karena merupakan tempat kelahiran pejuang revolusi Che Guevara. Bahkan, rumah orangtua Che Guavara hanya berjarak sekitar 5 kilometer dari EFA Santo Yosef Freinademetz.

Karena dua sekolah itu berjauhan, Pater Amans harus bolak-balik untuk mengontrol pembangunan dan aktivitas dua sekolah itu. Namun, bagi dia, tantangan itu belum seberapa jika dibandingkan dengan Che Guevara yang mengelilingi Amerika Selatan dengan sepeda motor. Pater Amans juga membangun empat sekolah Republik Indonesia (Escuela de la Republica de Indonesia). Satu di antaranya sebagai sekolah induk dan tiga sekolah satelit atau disebut juga sebagai sekolah untuk anak-anak yang paling miskin dan tinggal jauh. Siswa yang lulus dari Sekolah Republik Indonesia nantinya bisa melanjutkan ke sekolah pertanian

keluarga.

Beberapa duta besar Indonesia yang pernah bertugas di Argentina pernah berkunjung ke sekolah itu, seperti Kartini Sjahrir Pandjaitan, Jonny Sinaga, dan Niniek Kun Naryatie. Sekolah Indonesia di pedalaman Argertina juga mengajarkan Indonesia, sekaligus mempererat persabahatan kedua negara.

Setelah berhasil membangun sekolah di sana, Pater Amans diberi tugas yang lebih jauh yang disebutnya sebagai ‘tempat yang sunyi’, yakni Paroki Panambi yang berjarak 400 kilometer dari Puerto Esperanza.

Baru bertugas pada 2014, terjadi banjir besar yang melanda seluruh wilayah. Rumah penduduk terendam, akses transportasi dan bahan makanan terputus. Dia mengumpulkan bantuan untuk dibagikan kepada para warga. Pater Amans berada di Panambi sampai 2016.

Pengantar buku ditulis Paul Budi Kleden SVD, pastor asal NTT yang saat ini menjabat Superior Jenderal Serikat Sabda Allah (SVD) seluruh dunia di Roma. Ia menyebutkan Pater Amans menimba kekuatan dan inspirasi dalam ziarahnya karena mengikuti teladan orangtua dan kesaksian hidup keluarga, serta interaksi bersama teman-temannya dan misionaris.

Lain lagi pendapat Pater Philipus. Baginya, buku itu merupakan sebuah kisah perjalanan hidup misionaris yang kaya amal kebajikannya, yang dipersembahkan bagi Serikat Sabda Allah dan keluarga. Selain itu, menanamkan spiritualitas dan kemampuan untuk membaca dan merefleksikan fakta serta masa depan.

Saat sebagai seorang konfrater SVD dan mahasiswa Sekolah Tinggi Filsafat

Katolik (STFK) Ledalero Flores, Pater Philipus-lah yang membimbing skripsi Pater Amans dengan nilai hampir sempurna, yakni 9,95. Skripsinya berjudul Mistisisme Islam Menurut Haji Abdul Malik Karim Amrullah dan Mistisisme Katolik dalam Perbandingan, 1994.

“Kebanggaan seorang guru adalah siswanya lebih besar daripada gurunya,” kata Pater Philipus.

Buku Jalan sambil Berjalan telah membuka mata orang-orang bahwa pastoral pertanian sudah sepatutnya menjadi model karya pastoral prioritas utama di Nusa Tenggara Timur dan Indonesia karena dari hasil pertanianlah sebagian besar umat bisa hidup dan terlibat intensif dan erat dengan pertanian.

 

Diutus ke Kuba

Dua tahun pulang kampung, Pater Amans yang lahir pada 14 Mei 1967 diutus lagi ke Kota Mayari, Provins Holguin, Kuba. “Gereja di Kuba adalah sebuah perjalanan yang diam, hening, sepi, membisu, dan seperti tidak memiliki tujuan, selain di hati umatnya yang semakin tua. Tetapi saya tetap berjalan bersama roh kudus. bersama misionaris lain yang diutus memberitakan kabar sukacita,” kata Pater Amans lewat video dari La Havana.

Mayari terletak tak jauh dari kota kelahiran Fidel Castro dan Raul Castro. Sekarang, Pater Amans berada di Havana, ibu kota La Havana. Sukacitanya ialah memberikan makanan harian bagi warga yang sudah tua setiap Selasa dan Jumat. “Bagi saya adalah misa kudus dan ekaristi suci. Sapaan selamat pagi, selamat siang kepada mereka yang buta, lumpuh, dan menjadi tua sendirian di teras rumah masing-masing,” ujarnya.

Ketika bertugas di Kuba, ia melihat gereja sangat dihormati, tetapi tidak diizinkan berjalan, tetapi ia harus terus berjalan karena perjalanan masih panjang, bersama tas ranselnya yang berisi tiga hal, yakni melihat, menganalisis, dan membuat.

Dalam videonya, Pater Amans mengatakan tidak ingin buku itu dilihat sebagai memoar, album kenangan, atau monumen, tetapi dibaca sebagai keajaiban nasib manusia, tentang perutusan dan perjuangan serta harapan di dunia yang luas dan semakin kompleks.

Begitu juga pemberian nama jalan di Argentina. Hal itu menurut dia bukan tujuan hidupnya. “Tujuan hidup saya bukan milik saya, melainkan milik sang sabda yang mengutus saya. Saya hanyalah seorang hamba yang tidak berarti yang mengikrarkan kaul di bawah berkat bapak pendiri Arnoldus Jansen,” kata dia.

Nama pada sebuah jalan bukan untuk dikenang banyak orang karena semua nama jalan akan bertahan sebagai nama jalan. Renungkanlah jalan Anda masing-masing sebab Dia yang mengutus Anda, dan berhentilah sesekali untuk berdoa. (M-2)

 

Judul: Jalan sambil Berjalan, Narasi Hidup dan Karya P Amans Laka SVD

Penulis: Robert Bala

Penerbit: Penerbit Kanisius

Tahun: 2022

Halaman: 265






Source link

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Translate »