MK Tolak Gugatan Yusril Ihza Mahendra soal Presidential Threshold



Jakarta, CNN Indonesia

Mahkamah Konstitusi (MK) menolak gugatan Partai Bulan Bintang (PBB) yang diwakili oleh Ketua Umum Yusril Ihza Mahendra dan Sekretaris Jenderal Afriansyah Noor terkait dengan pengujian materi Pasal 222 Undang-undang Nomor 7 Tahun 2017 (UU Pemilu) yang mengatur ambang batas pencalonan Presiden dan Wakil Presiden alias presidential threshold.

Pasal 222 UU Pemilu menyatakan “Pasangan Calon diusulkan oleh Partai Politik atau Gabungan Partai Politik Peserta Pemilu yang memenuhi persyaratan perolehan kursi paling sedikit 20 persen dari jumlah kursi DPR atau memperoleh 25 persen dari suara sah secara nasional pada Pemilu anggota DPR sebelumnya.”

Mahkamah mengatakan tidak terdapat persoalan konstitusionalitas norma Pasal 222 UU Pemilu berkaitan dengan esensi norma Pasal 1 ayat (2), Pasal 4 ayat (1), Pasal 28J ayat (1), dan Pasal 28J ayat (2) UUD 1945. Oleh karena itu, menurut mahkamah, permohonan uji materi tersebut tidak beralasan menurut hukum untuk seluruhnya.

“Mengadili, menolak permohonan pemohon II [PBB yang diwakili oleh Yusril dan Afriansyah] untuk seluruhnya,” ucap Hakim Ketua MK Anwar Usman saat membacakan amar putusan, Kamis (7/7).

Yusril dan Afriansyah mengajukan uji materi dengan argumentasi yang didasarkan pada anggapan munculnya berbagai ekses negatif seperti oligarki dan polarisasi masyarakat akibat berlakunya ketentuan Pasal 222 UU Pemilu. Menurut Mahkamah, argumentasi yang demikian tidak beralasan menurut hukum.

Mahkamah menjelaskan tidak ada jaminan bahwa dengan dihapusnya syarat ambang batas pencalonan pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden oleh partai politik atau gabungan partai politik membuat berbagai ekses negatif tidak terjadi lagi.

“Terlebih lagi, setelah membaca semua putusan Mahkamah yang berkaitan dengan isu ambang batas pencalonan pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden oleh partai politik atau gabungan partai politik, pada pokoknya Mahkamah menyatakan syarat ambang batas pencalonan Presiden dan Wakil Presiden adalah konstitusional,” kata Hakim Anggota Aswanto.

“Sedangkan berkenaan dengan besar atau kecilnya persentase presidential threshold merupakan kebijakan terbuka (open legal policy) dalam ranah pembentuk Undang-undang,” sambungnya.

Aswanto menuturkan pendirian Mahkamah tersebut berpijak pada perlunya penguatan sistem pemerintahan presidensial berdasarkan UUD 1945 sehingga dapat mewujudkan pemerintahan yang efektif.

Pemilu Presiden dan Wakil Presiden, menurut Mahkamah, perlu dirancang untuk mendukung penguatan sistem pemerintahan presidensial. Tidak hanya terkait legitimasi Presiden dan Wakil Presiden terpilih, tetapi juga dalam hubungannya dengan DPR sehingga akan mendorong efektivitas proses politik di DPR menjadi lebih sederhana dalam kerangka checks and balances.

“Dalam kerangka tersebut, adanya syarat ambang batas pencalonan Presiden dan Wakil Presiden oleh partai politik atau gabungan partai politik menjadi salah satu cara untuk menyeimbangkan hubungan Presiden dengan DPR secara proporsional dalam sistem pemerintahan presidensial yang menjunjung tinggi nilai-nilai demokrasi,” kata Aswanto.

Yusril dan Afriansyah sebagai pemohon II mengajukan gugatan karena menilai Pasal 222 UU Pemilu telah menjadikan Pemilu dikontrol oleh oligarki dan penguasa modal, sehingga bukan merupakan hasil kehendak kedaulatan rakyat ataupun pilihan subyektif partai politik. Pemohon II menilai hal itu bertentangan dengan Pasal 1 ayat (2) dan Pasal 1 ayat (3) serta Pasal 6A ayat (3) UUD 1945.

Menurut mereka, Pasal 222 UU Pemilu bukan merupakan kebijakan terbuka atau open legal policy dan telah mengubah konsep kandidasi calon Presiden dan Wakil Presiden yang ditentukan konstitusi. Hal itu bertentangan dengan Pasal 6A ayat (2) dan Pasal 6A ayat (5) UUD 1945.

Mereka menganggap norma a quo telah menutup perubahan aspirasi sebagaimana esensi Pemilu yang periodik dan dipilih langsung oleh rakyat sehingga bertentangan dengan Pasal 1 ayat (3), Pasal 6A ayat (1) dan Pasal 22E ayat (1) UUD 1945. Pasal 222 UU Pemilu dinilai petinggi PBB tersebut telah menjadi senjata partai politik besar untuk menghilangkan pesaing sehingga bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) dan Pasal 28D ayat (3) UUD 1945.

MK Tidak Terima Gugatan DPD

Dalam perkara nomor: 52/PUU-XX/2022, MK menyatakan pemohon I yakni jajaran DPD yang dalam hal ini diwakili oleh Ketua Aa La Nyalla Mahmud Mattalitti serta Wakil Ketua Nono Sampono, Mahyudin, dan Sultan Baktiar Najamudin tidak memiliki kedudukan hukum atau legal standing untuk mengajukan uji materi.

Mahkamah berpendirian terkait pihak yang memiliki kedudukan hukum untuk mengajukan permohonan pengujian norma Pasal 222 UU Pemilu adalah (i) partai politik atau gabungan partai politik, dan (ii) perseorangan warga negara yang memiliki hak untuk dipilih dan didukung oleh partai politik atau gabungan partai politik peserta Pemilu untuk mencalonkan diri atau dicalonkan sebagai pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden.

Hakim Anggota Manahan MP Sitompul menilai anggapan kerugian konstitusional yang dijelaskan oleh pemohon I tidak memiliki hubungan sebab akibat dengan pelaksanaan hak serta kewajiban pemohon I.

Hal itu dikarenakan pemberlakuan norma Pasal 222 UU Pemilu sama sekali tidak mengurangi kesempatan putra-putri daerah untuk menjadi calon Presiden atau Wakil Presiden sepanjang memenuhi persyaratan yang telah ditentukan dalam peraturan perundang-undangan dan diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik peserta Pemilu.

“Mengadili, satu, menyatakan permohonan pemohon I tidak dapat diterima,” kata Anwar Usman saat membacakan amar putusan.

Dalam gugatannya, La Nyalla dkk menilai Pasal 222 UU Pemilu telah menghalangi hak serta kewajiban pemohon I untuk memajukan dan memperjuangkan kesetaraan bagi putra-putri daerah dalam mencalonkan diri sebagai calon Presiden dan Wakil Presiden.

(ryn/gil)

[Gambas:Video CNN]






Source link

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Translate »