Menjaga Garuda, Perkuat Disiplin dan Kesabaran


ARUS pulih dari pandemi mulai terasa di berbagai sektor. Pengetatan-pengetatan mulai direnggangkan. Roda ekonomi global dan nasional mulai berputar lebih cepat, disusul menguatnya arus pergerakan barang, jasa, dan manusia. Namun situasi yang mulai membaik ini tak akan jadi momentum kebangkitan usaha-usaha jika tak disikapi dengan strategi reformasi yang tepat. Dalam konteks ini, tak terkecuali Garuda Indonesia.

Jamak diketahui bahwa maskapai penerbangan yang selama ini jadi kebanggaan Indonesia di dunia internasional sedang berjuang keluar dari keterpurukan. Secara umum, pandemi memicu kemurungan maskapai ini. Namun berbagai ahli umumnya setuju bahwa pandemi hanya membuka inefisiensi dan inefektivitas dari manajemen Garuda. Sikap bijak berbagai pihak terkait sangat diperlukan untuk menyikapi situasi sulit ini.

Kesempatan Emas

Pagebluk Covid-19 mengantarkan Garuda pada proses Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang atau PKPU yang dikabulkan pada 9 Desember 2021 lalu oleh Pengadilan Niaga Jakarta. Dengan PKPU ini, para pihak, khususnya Garuda sebagai debitur dan para lessor dan kreditur, diberikan waktu selama 45 hari untuk melakukan negosiasi. Memerlukan waktu lebih, perpanjangan 60 hari pun diberikan hingga untuk kedua kali. Secara teknis, yang mutakhir, berbagai pihak terkait PKPU Garuda perlu mengambil keputusan maksimal pada 20 Mei 2022.

Sempat muncul anggapan bahwa PKPU ini adalah gerbang menuju kepailitan Garuda. Namun, sebaliknya, ini adalah kesempatan emas para pihak tersebut untuk menyelamatkan apa yang telah menjadi aset dan bisnis bersama mereka, yakni Garuda Indonesia—yang sekaligus telah jadi simbol kesuksesan sebuah maskapai publik di dunia. Proses PKPU tentu disertai diskusi dan negosiasi yang alot antar-para pihak. Namun, dalam konteks Garuda, ini menjadi pilihan yang bijak sebab beberapa alasan.

Pertama, secara administratif, dengan PKPU, para pihak terkait punya satu kerangka legal pengambilan sikap dan keputusan. Jamak dipahami, Garuda adalah perusahaan plat merah Indonesia yang manajemen dan asetnya hampir sebagian besar berbasis hukum di Indonesia. Karenanya, jalur negosiasi sesuai sistem legal di Indonesia menjadi pilihan krusial dan pasti (certain).

Kedua, terlepas dari berbagai kecurigaan terkait proses ini, jika para pihak terkait menjunjung rasa saling percaya (trust), penyelesaian problema Garuda lewat PKPU ini memberikan kepastian, atau setidaknya prediktabilitas. Dalam perspektif kebijakan publik, kepastian menjadi situasi yang diidam-idamkan, tetapi ini sulit diwujudkan. Prediktabilitas-lah yang kemudian menjadikan kebijakan menjanjikan dan dapat diimplementasikan. Penanganan situasi sulit Garuda jelas menjadi salah satu fokus kebijakan bagi siapapun pihak yang terkait. Karenanya prediktabilitas penyelesaiannya lewat PKPU menjadi penting.

Ketiga, pemerintah bersama DPR-RI telah menyepakati suntikan penyertaan modal nasional (PMN) kepada Garuda yang kabarnya sebesar sekitar tujuh triliun Rupiah. Perlu diakui, ini bukan keputusan mudah. Sebagian pihak menyatakan keberatannya karena untuk kesekian kalinya maskapai ini harus ‘dimanja’. Namun, sebagian lain melihat bahwa ini adalah langkah tepat, meski sulit diterima. PMN ini akan memberikan napas yang cukup untuk Garuda kembali bangkit, sembari pengetatan karena pandemi mulai merenggang.

Akan tetapi, tentu jendela kesempatan (window of opportunity) di atas akan tertutup jika upaya ini bertepuk sebelah tangan. Untuk menghindari ini, Garuda sebagai sebuah entitas bisnis perlu memastikan bahwa mereka mengirimkan sinyal yang kuat pada pasar, bahwa perbaikan sedang dalam perjalanan dan diupayakan dengan sungguh-sungguh. Beberapa tantangan pelik berikut perlu menjadi perhatian.

Kesempatan Berisiko

Berbeda dengan maskapai swasta, berbagai maskapai plat merah punya pemerintahnya yang jadi jaring pengamannya. Singapore Airlines (SIA) misalnya, banyak mendapat bantuan dari Pemerintah Singapura di masa pandemi ini. Karenanya, PMN sebagai sebuah jaring pengaman (safety net) untuk Garuda bukanlah hal spesial. Idealnya, jaring pengaman memberikan perlindungan ketika krisis datang. Namun, ia tak lepas dari risiko. Jaring ini dapat menjelma menjadi berbagai kemudahan yang memberikan berbagai alasan untuk Garuda malas berjuang dan berubah, serta tetap mengambil keputusan-keputusan yang buruk.

Selanjutnya, Garuda selama ini dengan mudah mendapatkan prioritas sebagai pilihan maskapai penerbangan untuk berbagai urusan pemerintah Indonesia. Berbagai perjalanan dinas mengutamakan Garuda sebagai pilihan utamanya. Contoh lain, para penerima beasiswa pemerintah, LPDP misalnya, diminta lebih utama memilih Garuda untuk menuju daerah atau negara studinya.

Di satu sisi, keberpihakan ini tentu baik adanya, mengutamakan maskapai milik negara. Tetapi di era persaingan global, pendekatan ini sebenarnya membahayakan. Pasar memiliki loyalitas semu kepada Garuda. Terbukti, ketika pandemi datang, berbagai perjalanan ditahan—termasuk kedinasan, maskapai ini pun turun drastis permintaannya.

Yang paling buruk adalah bahwa jaring pengaman ini bersyarat. Ada harga yang harus dibayar yakni tekanan politik kepada maskapai kebanggaan Indonesia ini. Dari berbagai kasus yang menimpanya, terlihat bahwa banyak keputusan buruk nan tak efektif diambil oleh Garuda. Ini termasuk pembelian pesawat yang tak efisien dan koruptif, pembukaan anak-anak perusahaan yang tak perlu, hingga penempatan individu-individu yang kurang kompeten di dalam tubuh Garuda. Masalah etis penyelundupan Brompton dan Harley Davidson beberapa waktu lalu menjadi bukti bahwa maskapai ini memang punya masalah besar dalam manajemennya.

Kerjasama Strategis antar-para pihak

Tantangan demi tantangan di atas tentu bukan justifikasi bahwa problema Garuda akan selesai dengan memailitkannya, sebagaimana beberapa pihak berargumen. Opsi itu terlalu sederhana untuk sebuah problem yang kompleks terkait Garuda. Legasi, aset, dan manajemennya telah menjalar luas, sehingga solusi yang terlalu sederhana itu jelas tak bijak. Boleh jadi Garuda ini telah too big to fail, terlalu besar untuk ditutup. Karenanya, mengedepankan upaya penyelamatan menjadi pilihan bijak, meski sulit sekali diterima. Tentu, ini perlu disertai kerjasama strategis yang kuat dan penuh komitmen antar-para pihak.  

Katakanlah, perdamaian dicapai, maka redefinisi kewenanan para pihak—debitur, lessor, dan kreditur, perlu dilakukan. Kewenangan dimaksud adalah khususnya dalam menentukan arah manajemen Garuda dan mengambil keputusan-keputusan penting. Misalnya, dalam hal perampingan dan pengefektifan lini bisnis Garuda, lini bisnis yang tak menguntungkan perlu segera dipangkas sehingga fokus maskapai ini kembali pada khittah-nya yakni penerbangan prima nasional dan internasional.

Selanjutnya, dalam hal pemilihan figur di berbagai posisi penting, prinsip the best people for the most challenging tasks atau mereka yang terbaik untuk pekerjaan-pekerjaan tersulit adalah harga mati! Garuda era Irfan Setiaputra telah menunjukkan trend keterbukaan dan komitmen untuk membangun tim manajemen yang lebih efektif.

Proses PKPU yang berlangsung saat ini harapannya memunculkan kepercayaan antar-para pihak. Dengan ini, mereka kemudian dapat bekerjasama dengan lembaga independen seperti think tank atau universitas untuk membantu seleksi dan penunjukan figur yang tepat untuk pekerjaan-pekerjaan krusial dan mendukung trend positif yang telah dimulai era kepemimpinan saat ini. Upaya-upaya ini harapannya bermuara pada penguatan kembali disiplin (restore discipline) dari pengelolaan Garuda.

Menjaga Garuda tetap mengudara pada akhirnya tetap menjadi keputusan sulit bagi banyak pihak, bukan hanya debitur dan kreditur tapi juga para analis dan peneliti. Proses PKPU yang sedang berjalan tentu diharapkan benar-benar menjadi jendela kesempatan yang dapat diefektifkan oleh para pihak terkait. Upaya menangani Garuda jelas membutuhkan proses dan kesabaran—mengingat besarnya ukuran perusahaan dan berbagai tantangan di atas. Berbagai pihak yang berurusan dengan maskapai plat merah ini tentu memahaminya di momen ketika kerjasama mereka dengan Garuda dimulai.






Source link

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Translate »