Kalimat holobis kuntul baris dengan terjemahan harafiah burung bangau yang sedang berbaris. Satu kiasan dalam pitutur luhur Jawa untuk pegangan pekerja, SDM – sumber daya manusia—mau pun suatu perusahaan. Peribahasa ini menggambarkan kinerja sekelompok orang yang mau bekerjasama dengan penuh semangat untuk maju bersama. “Alone we can do so little; together we can do so much.” demikian kata Helen Keller
KOLABORASI kelompok, hingga menjadi teamwork , tentu didasari oleh prinsip kesamaan pemikiran dan pemahaman, kebersamaan, kerja sama, berbagi tugas, kesetaraan, tanggung jawab serta tanggung-gugat.
Modal terpenting untuk maju bukan hanya uang, tetapi modal semangat, kerja keras dan keinginan memperbaiki nasib. Penjabarannya adalah kemampuan bekerja dalam kerja tim untuk menggapai visi secara bersama-sama.
Holobis kuntul baris punya kekuatan untuk mengarahkan setiap individu —mempunyai tujuan masing-masing— menggabungkannya menjadi misi organisasi. Kerja tim semacam ini, “pemicu” seseorang yang biasa-biasa saja, menjadi luar biasa.
Kita sudah mengenal kata komunitas, asosiasi, club, stakeholders atau bahkan geng? Mungkin, salah satu dari kita menjadi pengurus dan anggota?
Baik. Mari kita bangun contoh konkritnya.
Dengan Serius
Keilmuan jaman digital, “menjamurkan” bisnis independen yang menggunakan terminologi industri kecil menengah (IKM), usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) dan, usaha kecil dan menengah (UKM). Juga startUp – usaha rintisan– cara baru dalam berusaha di era modern revolusi industri gen 4.0 dan marketing 5.0 —disebut dengan startUp dgital –karena tidak terlepas dari teknologi informasi dan digital.
Selanjutnya, bagaimana mengkolaborasikan pebisnis UMKM dengan start-up, di era milenium ini, terutama di industri perdagangan B2C (Business to Consumer) –salah satu jalan menuju sukses hanya dengan berkolaborasi—. Proses efektif, efisien, biaya marketing murah adalah jalan keluar.
Jadi harus ber-kolaborasi?
Pasti. Contoh nyata ada di successstorynya Go-Jek. Penyedia aplikasi digital yang sekarang beken dengan go-go-gonya.
Harus dipahami terlebih dahulu, perbedaan kedua small-business ini.
Start-up adalah jenis usaha yang masuk ceruk bidang jasa dan pelayanan.
Sedangkan UMKM adalah jenis usaha yang produknya dapat dirasakan langsung oleh konsumen real time seperti kuliner, kerajinan, dan busana. Dan dominan para pengusaha UMKM memulai dari hobi. Memiliki keahlian membuat kue bolu pedas, ya jualan bolu spesifik itu.
Semacam egosentrik juga, karena tidak memikirkan pangsa pasar dan membuka bisnis tanpa analisa. Hasil jangka panjangnya? Silakan dijawab sendiri oleh teman-teman pelaku usaha mikro atau rumahan atau home industri.
Semoga semua berhasil dan sukses.
Atau ada keputusan lain membuka usaha mikro, karena “kepepet” seperti pada tahun 2020. Efek COVID-19, dimana secara masif pekerja kehilangan pekerjaan karena perusahaan harus menghentikan kegiatannya. Yang begini ini pastinya modal nekad, modal “dengkul” yang harus dijalani.
Kolaborasi UMKM dengan start-up adalah fenomena yang semakin banyak peminat khususnya para pengusaha muda.
Keduanya juga memiliki perbedaan yang di dalamnya terdapat keunggulan dan keistimewaannya masing-masing. Namun perlu diingat, start-up dan UMKM adalah pekerjaan yang harus diupayakan dengan serius. Untuk menjadi sukses dalam bisnis ini, kita harus memiliki komitmen dengan mengerahkan segala daya upaya. Sehingga usaha yang dijalankan— dengan cara berkolaborasi— bisa berkembang dan bermanfaat bagi semua orang yaitu pebisnis juga konsumennya.
Pemakaian teknologi sangat berbeda jauh antara keduanya. UMKM menggunakan teknologi fokus untuk pemasaran produknya, menjangkau konsumen langsung sampai pada paymentgateway-nya—sistem pembayaran digital—.
Bagi start-up, teknologi adalah keharusan, “nyawa” penting untuk memfasilitasi kebutuhan bisnis konvensional agar dapat melakukan transaksi dan closed sale secara real time.
Sidang pembaca sudah pernah belanja cara online kan? Di platform digitalnya yang kekinian sudah termasuk deliveryservicenya, biaya pengiriman dari segala penjuru Indonesia?
Kemudian prinsip hitung dagang selanjutnya adalah UMKM memasang target untuk mendapatkan laba sejak mereka mulai menjual produknya. Sedangkan start-up perhitungan dasar perusahaannya adalah menitik beratkan pada valuasi dengan strategi multiplikasi. Bukanlah keuntungan di awal yang dikejar oleh para start-up, melainkan perkembangan bisnis itu sendiri.
Terlihat abstrak. Namun, bila kita mengamati perkembangan Go-Jek, Tokopedia, Shopee tentu kita semakin paham dengan banyaknya promosi yang mereka luncurkan. Sangat beragam dan sering membuat kita menjadi pe-belanja yang produktif. Benar?
Ya, para start-up rela merugi agar konsumen tertarik menggunakan layanannya, menggunakan aplikasi digital yang di-up-grade setiap saat. Rumus merugi ini tidaklah wajib, kita tetap bisa mendapatkan laba keuntungan agar bisa tetap beroperasi jangka panjang. Untuk bisnis start-up yang wajib adalah meningkatnya nilai valuasi start-up demi menentukan harga jual start-up atau perusahaan apabila terjadi merger atau ada perusahaan lain yang tertarik untuk mengakuisisinya.
Maka …. apakah semangat holobis kuntul baris masih valid dalam kekinian kolaborasi StartUp Digital + IKM/UMKM/UKM bagi kita?*
Jember, 26 Juni 2022
Jeffrey Wibisono V. (Praktisidan KonsultanPerhotelan)
Recent Comments