Islam dan Tantangan Kecerdasan Buatan



fadil zein



Agama | Friday, 09 Jun 2023, 10:14 WIB

Peneliti menyatakan ritual keagamaan saat ini telah “dirasuki” robot dan kecerdasan buatan.

Keterkaitan agama dengan kecerdasan buatan (Artificial Intelligence) menjadi obyek penelitian menarik bagi sejumlah kalangan internasional. Kompatibilitas yang erat antara teologi dan teknologi menunjukkan saat ini kehidupan agama kian tidak terpisahkan dengan AI. Hasil penelitian di University at Buffalo New York, Amerika Serikat menjelaskan adanya keterkaitan erat antara dua bidang yang berbeda tersebut.

Para peneliti melihat adanya opportunity kehadiran teknologi sebagai alat penghubung antar kelompok agama. Bahkan, peneliti menyatakan ritual keagamaan saat ini telah “dirasuki” robot dan kecerdasan buatan.

Di level sederhana, keterkaitan agama dan AI ada pada aplikasi atau program berbasis mobile dan web. Bagi umat Islam, algoritma membawa keuntungan karena mampu menghadirkan aplikasi pengingat azan, jadwal shalat, arah kiblat, hingga penentu awal bulan untuk memulai puasa Ramadhan dan Idul Fitri.

Dalam komunitas yang lebih luas, antar pemeluk agama juga diuntungkan dengan kehadiran aplikasi media sosial sebagai penghubung silaturahmi. Ilmuwan menciptakan aplikasi dengan tujuan menghadirkan platform komunikasi antar manusia.

Media sosial, dimulai dari Facebook hingga Twitter, diciptakan untuk menghubungkan individu dan komunitas yang lokasinya berjauhan. Jarak dan waktu bukan lagi kendala untuk melakukan komunikasi. Meski kita harus kecewa lantaran dalam perjalanannya, medsos melenceng dari tujuan awalnya yang mulia.

Medsos, khususnya di Indonesia, kini didominasi para petualang yang menggunakannya untuk menyebar hoax dan agitasi. Apalagi di tahun-tahun politik, kesumpekan medsos kian terasa dengan berbagai hal negatif.

Di level yang lebih rumit, ilmuwan menggantikan pemuka agama dengan kehadiran robot yang di dalamnya tersimpan kecerdasan buatan. Di Jepang, ilmuwan mengembangkan Pepper, robot yang didesain menjadi pendeta dalam agama Budha. Kemampuannya adalah menyanyikan lagu-lagu kidung.

Produsen Pepper, Nissei Eco mencatat kehadiran robot tersebut sebagai revolusi agama karena semakin menyusutnya jumlah penduduk di Jepang dan makin tidak adanya masyarakat di Negeri Sakura itu yang tertarik menjadi ahli agama.

Bagi muslim, mungkin terlalu kontroversial jika di masa yang akan datang, ada yang menciptakan robot sebagai imam shalat. Kontroversial bukan berarti mustahil. Dan, jangan salah, sejumlah ilmuwan Perusahaan As-Siraat Enterprises (ASE), Connecticut, Amerika Serikat telah menciptakan robot yang diberi nama Bilal. Robot tersebut mampu mengajarkan anak dan muallaf bagaimana melakukan shalat.

Bilal berjalan dengan sistem operasi Android dan dirancang untuk mengajarkan tata cara shalat yang benar. ASE menganggap robot merupakan media yang cocok untuk menyalurkan pendidikan pada era modern seperti sekarang. Selain mengajar tata cara shalat, robot pintar yang dikonsepkan sejak 2009 ini juga mumpuni dalam mengajar matematika, alfabet, frasa, dan bahasa Arab.

Penguasaan Teknologi

Sejarah menunjukkan agama memerlukan waktu tidak sebentar untuk menyesuaikan diri dengan perkembangan teknologi. Sesuatu yang baru biasanya dianggap menyimpang dan pada akhirnya ijtihad memainkan peran besar. Pertanyaan besarnya adalah sejauh mana ulama mampu mengikuti perkembangan teknologi yang kian deras dan pesat.

Dinamika kontemporer membutuhkan ulama-ulama yang memiliki pemikiran terbuka dan mampu mengikuti perkembangan zaman. Memahami konsep-konsep dasar agama secara mumpuni, sekaligus memahami alur pikir ilmuwan.

Ulama kontemporer Yusuf Qardhawi telah mengingatkan tantangan yang akan dihadapi umat Islam di abad 21, salah satunya adalah pentingnya penguasaan teknologi informasi. Menurutnya, abad 21 bagi umat Islam sebagai abad kecemerlangan sains dan teknologi yang dahsyat. Apa sebab? Umat memiliki modal untuk “memenangkan pertarungan” di milenium ketiga ini yang menurutnya berdasarkan tiga modal besar di beberapa negara Islam.

Pertama, maraknya pendidikan di sejumlah negara-negara Islam membantu percepatan penyesuaian teknologi informasi. Universitas bertebaran untuk mencetak kelompok intelektual yang terdiri ahli matematika, programming dan sebagainya yang tentunya mereka memiliki Islamic Worldview. Bahkan, di antara mereka melanjutkan pendidikan ke negara-negara Eropa dan Amerika Serikat untuk meningkatkan skill dan pemahaman yang lebih luas tentang teknologi.

Kedua, munculnya berbagai gerakan revitalisasi, pembaharuan dan kebangkitan Islam. Qardhawi mengungkapkan gerakan pembaharuan adalah gerakan yang mempresentasikan Islam yang hakiki dengan universalitas, kemoderatan dan kedalaman pandangan. Dari pembaharuan gerakan ini akan melahirkan peradaban Islam yang penuh dengan rahmat bagi semesta alam di abad ke-21.

Ketiga, perlawanan terhadap westernisasi dan perang pemikiran. Meski kita pahami bahwa teknologi saat ini dikuasai Barat, namun di beberapa negara muslim terjadi peningkatan pemahaman tentang pentingnya penguasaan teknologi informasi. Perang siber mewabah untuk menunjukkan eksistensi kelompok-kelompok muslim dalam beberapa tahun belakangan.

Ilmuwan-ilmuwan muslim yang semakin tertarik dengan AI bermunculan. Dr. Muhammad Mohamed memimpin project robot muslim di Universitas Darul Jahiliyah, Doha, Qatar. Ambisinya adalah menciptakan robot yang “memiliki iman” seperti layaknya manusia. Iman akan dimasukkan ke dalam program robot tersebut untuk memahami kalimat tauhid, syariat Islam, fiqh dan sebagainya.

Dr. Mohamed berambisi memprogram Islam ke dalam robot-robot ini, dan menurutnya memiliki potensi luar biasa. Kecerdasan buatan yang dimasukkan ke dalam robot tersebut diprogram untuk menegakkan prinsip-prinsip utama Islam. Lebih dari itu, mereka juga diprogram untuk memiliki keyakinan tanpa pertanyaan. Beberapa peristiwa seperti Isra Mi’raj, kehadiran Ya’juj dan Ma’juj, Dajjal , juga ditanam dari kecerdasan buatan para robot sebagai bagian iman kepada Islam. Dr. Mohamed optimis project ini akan mewujud pada 2070 mendatang.

Paparan di atas merupakan data empirik betapa tantangan umat ke depannya semakin kompleks. Ulama-ulama harus hadir untuk menjawab tantangan zaman. Dalam konteks Indonesia, Majelis Ulama Indonesia (MUI) harus hadir dan menjadi garda terdepan untuk menghadapi masalah-masalah ini, sebagai salah satu fungsinya sebagai penjaga agama, negara dan umat (himayatuddin, himayatul wathon dan himayatul ummah). (*)

Ditulis: Mohamad Fadhilah Zein

Penulis e-book dan sejumlah artikel menarik lainnya.

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.





Source link

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Translate »