Harmoni Budaya dalam Pagelaran Sabang Merauke


SESOSOK perempuan tampil di tengah panggung sambil menggenggam tinggi rencong. Beberapa detik kemudian, lagu Bungong Jeumpa ia lantunkan diiringi penampilan para penari yang bersimpuh berbanjar di depannya.

 

Bungong Jeumpa menjadi lagu daerah pembuka dalam pertunjukan musik bertajuk Pagelaran Sabang Merauke – Premiere with Live Performance di Djakarta Theater, Jakarta Pusat, Kamis (2/5) malam. Sebelumnya, lagu Tanah Air yang dilantunkan Kikan Namara juga menjadi sajian memukau di panggung itu.

 

Selain Kikan, pertunjukan musik yang disutradarai Rusmedi Agus itu menampilkan pula Mirabeth Sonia, Christine Tambunan, Taufan Purbo, dan Alsant Nababan, sebagai penyanyi utama. Kelimanya bergantian membawakan lagu-lagu mulai dari Bungong Jeumpa dari Aceh, Sik Sik Sibatumanikam (Sumatra Utara), Kampuang Nan Jauh di Mato (Sumatra Barat), Janger (Bali), hingga Yamko Rambe Yamko (Papua). Totalnya, ada 21  lagu daerah yang disuguhkan di pertunjukan tersebut.

 

Secara garis besar, pertunjukan ini lebih terasa sebagai pertunjukan musik sebab memang tidak ada pengadeganan yang bertumpu pada penceritaan ataupun naskah narasi plot.

 

Sebagai pertunjukan musik yang mengusung katalog lagu daerah, Pagelaran Sabang Merauke Premiere with Live Performance tampil cukup apik dengan gubahan aransemen yang menggabungkan instrumen tradisional, string, dan instrumen dalam format band. Kelima vokalis utama juga tampil sangat prima.

 

Setelah dari awal digeber tanpa dramatisasi, dinamika pertunjukan dihadirkan lewat lagu Ondel-Ondel sebagai interval. Pada bagian itu juga dengan apik memasukkan instalasi pengeras suara yang memanfaatkan suara organiknya, termasuk digunakan pula boneka ondel-ondel. Hal ini cukup mampu membuat pertunjukan berjalan lebih lentur.

 

Vokal para penyanyi utama, musik, dan para penari bekerja secara efektif untuk menghadirkan pengalaman pertunjukan langsung yang bertumpu pada kekayaan budaya Indonesia. Ditambah dengan rancangan busana yang juga berperan melengkapi. Pertunjukan ini menjadi semacam parade harmoni budaya Indonesia yang semarak.

 

Salah satu yang menjadi titik kritik pada pertunjukan ini adalah tata cahaya panggung yang kerap kali belum signifikan memberikan dimensi yang lebih utuh. Selain itu, blocking tata cahaya terkadang terlambat atau tidak mengenai para penampil sehingga secara keseluruhan, pertunjukan tampak kurang padu.

 

Hal yang juga krusial untuk diperbaiki adalah ketika saat pengadeganan dengan latar Papua di awal babak akhir. Pada saat itu kesan yang dimunculkan koreografi adalah soal steriotipe orang Papua dalam melihat teknologi. Ini diperagakan oleh seorang aparat dengan seorang penari, yang memperlihatkan kegagapan si penari. Semestinya, narasi yang dibangun lebih positif dan bukan atas dasar stereotipe.

 

Layar latar panggung ketika Janger dinyanyikan pantas diacungi jempol karena efektif menghadirkan nuansa yang lebih imajinatif. Sayangnya, konsep latar panggung ini tidak muncul pada penampilan-penampilan lain. Alih-alih yang dominan adalah latar yang tampak terlalu ramai.

 

Pertunjukan ini tampaknya juga dapat mempertimbangkan pendekatan drama musikal. Dengan begitu potensi lebih utuhnya pertunjukkan tampaknya bakal bisa terwujud.

 

Secara keseluruhan, pagelaran yang digagas perusahaan penyediaan jaringan dan infrastruktur telekomunikasi, iforte, ini tetap menarik ditonton dan patut diapresiasi sebagai upaya mengangkat budaya Tanah Air. Pertunjukan ini dilangsungkan selama tiga hari pada 3-5 Juni dan ditampilkan sebanyak lima kali di atas panggung ballroom Djakarta Theater. Setelah itu, video akan bisa disaksikan di kanal Youtube iforte mulai 6 Juni. (M-1)






Source link

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Translate »