Terdapat sejumlah adab fatwa yang harus diperhatikan menurut Islam
REPUBLIKA.CO.ID, —Fatwa dalam Islam mempunyai kedudukan dan peran yang sangat vital. Atas dasar inilah, sejumlah ulama meletakkan etika dalam berfatwa.
Salah satunya Imam Nawawi dalam buku berjudul “Adab di Atas Ilmu.” Buku ini diterjemahkan dari kitab Adab al-Alim wa al-Muta’allim wa Adab al-Mufti wa al-Mustafti yang ditulis Imam Nawawi.
Menurut dia, orang yang berfatwa atau seorang mufti merupakan pewaris pada nabi. Dia adalah orang yang tampil untuk melakukan fardhu kifayah. Bahkan, dia mampu menunjukkan mana yang benar dan mana yang salah. Ulama salaf menyatakan, “Seorang mufti merupakan wakil Allah SWT untuk menentukan hukum dalam setiap peristiwa.” (halaman 135).
Dalam pembahasan terakhir ini, Imam Nawawi juga menjelaskan tentang syarat-syarat pemberi fatwa. Di antaranya, seorang mufti harus memiliki syarat-syarat seperti seorang perawi hadits. Dia harus objektif dengan yang akan difatwakan, serta tidak terpengaruh dengan ikatan kekeluargaan atau sebab permusuhan.
Dalam fatwanya, menurut Imam Nawawi, seorang mufti harus bisa memberikan banyak kemaslahatan dan menghindari kemudharatan. Sebab, mufti itu seperti penyampai berita tentang syara’, yang tidak semua orang mampu melakukannya.
Karya Imam Nawawi ini menjadi rujukan utama tentang pentingnya mendahulukan adab daripada ilmu pengetahuan lainnya. Tidak hanya bagi para murid atau santri, tapi juga bagi para guru. Buku ini sangat penting untuk dikonsumsi setiap muslim. Apalagi, di zaman sekarang ini proses belajar telah banyak berubah ke dalam dunia virtual atau daring.
Proses belajar di zaman dahulu dengan sekarang tentu sudah sangat jauh berbeda. Karena itu, para ulama kiranya penting juga untuk membuat tuntunan bagi para pencari ilmu yang sesuai dengan kondisi zaman teknologi sekarang ini.
Siapa Imam Nawawi?
Imam Nawawi, seorang ulama besar Mazhab Syafi’i. Dia dilahirkan di Desa Nawa, Suriah pada bulan Muharram 631 Hijriyah.
Berkat penguasaan dan kepeduliannya terhadap ilmu-ilmu agama, sang Imam memperoleh gelar “Muhyiddin”, yang artinya sang penghidup agama. Gelar ini diberikan karena Imam Nawawi mendedikasikan seluruh hidupnya untuk belajar, menulis, dan mengajarkan ilmu-ilmu agama.
Seperti mayoritas ulama yang bermazhab Syafi’i, dalam mazhab akidah sang imam termasuk Al Asy’ariyah atau pengikuti Imam Abu Hasan al-Asy’ari, sang pendiri Mazhab Ahlussunnah wal Jamaah (Aswaja).
Jejak langkah sang imam dalam menuntut ilmu merupakan bukti cintanya terhadap ilmu pengetahuan. Dari sang Imam, umat Islam akan mengerti bahwa belajar ilmu tidak boleh terhambat oleh faktor usia dan tidak pernah mengenal kata usai.
Imam Nawawi wafat pada 679 Hijriah di usia ke-45 tahun. Dalam kurun waktu yang begitu singkat, dengan ketekunannya dalam membaca dan menulis, lahir puluhan karya-karya besar. Salah satu karyanya yang mengupas tentang ilmu adalah buku terjemahan berjudul “Adab di Atas Ilmu” ini.
sumber : Harian Republika
Recent Comments