TEMPO.CO, Jakarta – Direktur Center of Economics and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira mengatakan Indonesia adalah negara dengan jumlah promo dan diskon yang sangat besar pada transaksi digital.
Menurut dia, hal itu justru tidak sehat bagi industri platform digital. Alasannya, pengguna kemungkinan hanya mengejar keuntungan dari promo dan tidak bertahan lama menggunakan aplikasi tersebut.
“Kalau dibiarkan terus-menerus seperti ini ekosistem digital kita bisa ambruk karena orang hanya nyari promo, setelah itu geser ke aplikasi lain,” ujarnya kepada Tempo, Sabtu, 13 Agustus 2022.
Bhima menerangkan bahwa tren promo di platform digital, seperti e-commerce atau ojek online, awalnya muncul untuk menarik pelanggan baru, terutama saat pandemi Covid-19. Indonesia memiliki sekitar 40 juta user digital baru yang berminat mencoba platform digital untuk transaksi sehari-hari.
Dia pun berpendapat ekosistem industri digital sebetulnya bisa ambruk lantaran pengguna akan mudah bergeser ke aplikasi lain yang promonya lebih besar. Alhasil, persaingan usaha platform digital tidak sehat karena hanya perusahaan yang memiliki modal besar yang bisa memenangkan pasar.
Maka Bhima menyarankan pendekatan promo dalam transaksi digital harus diubah. Caranya dengan menawarkan fitur-fitur yang menarik sehingga persaingannya berlandaskan pada fitur, bukan pada promo, diskon, atau bakar uang.
“Itu yang harusnya jadi landasan persaingan, bukan kejar-kejaran dengan promo dan diskon.
Persaingan yang berlandaskan promo juga akan menyulitkan para perintis usaha awal dalam mencari pendanaan. Pesaing baru pun sulit masuk atau terjadi antibarrier. Pemain baru akan kalah saing karena tak bisa mengalahkan modal perusahaan besar dengan promo yang besar.
“Sayangnya, modal bukan untuk develop aplikasinya, melainkan untuk promo dan diskon,” ucap Bhima.
Baca: Promo HUT RI ke-77: Ichiban Sushi 17 Ribuan Hingga Hokben 30 Ribuan
Recent Comments