Bos KAI Curhat Soal Biaya Proyek LRT Jabodebek Membengkak jadi Rp 32,5 Triliun


TEMPO.CO, Jakarta – Direktur Utama PT Kereta Api Indonesia (Persero) atau PT KAI Didiek Hartantyo membeberkan soal pembengkakan biaya proyek Light Rail Transit (LRT) Jabodebek. Hal tersebut disampaikan Didiek dalam rapat dengar pendepat komisi V DPR, Rabu, 6 Juli 2022.

Ia menilai proyek Rp 29,9 triliun yang kemudian biayanya membengkak Rp 2,6 triliun menjadi Rp 32,5 triliun) ini sudah aneh sejak awal. Sebab, penugasan pembayaran dibebankan melalui KAI untuk pembangunan sarana sekaligus infrastrukturnya.

“Proyek ini agak aneh (karena) pemilik proyek Kementerian Perhubungan, kontraktornya Adhi Karya, dan di Perpres 49 (2017) PT KAI sebagai pembayar,” kata Didiek, Rabu, 6 Juli 2022. “Jadi kalau dibuka anatomi Perpres 49 itu, memang ini sesuatu yang tidak wajar sebetulnya.”

Oleh karena itu, ia menilai membengkaknya biaya proyek yang ditargetkan beroperasi paling cepat akhir tahun ini sangat membebani PT KAI. Meski begitu, perseroan tetap berkomitmen menyelesaikan pekerjaan yang masuk dalam proyek strategis nasional tersebut.

Mantan Direktur Keuangan KAI ini kemudian merincikan, dari nilai awal proyek LRT Jabodebek sebesar Rp 29,9 triliun, sekitar Rp 25 triliun di antaranya dialokasikan untuk pembangunan prasarana. Sisanya, sekitar Rp 4 triliun digunakan untuk menyediakan sarana atau kereta.

Untuk membiayai proyek ini, KAI mendapatkan dukungan Penyertaan Modal Negara atau PMN sekitar Rp 10 triliun. Adapun sekitar Rp 20 triliun sisanya dibayar melalui kredit sindikasi 15 bank yang dibayarkan oleh KAI dengan jaminan pemerintah.

“Kami berutang itu Rp 20 triliun sendiri. Jadi, bagaimana kami mengembalikan utang kalau tidak ditopang oleh PSO (public service obligation) untuk pengambilan infrastruktur (LRT),” tutur Didiek. “Ini desainnya sudah tidak benar dari awal.”

Awalnya, kata Didiek, proyek LRT dimulai sejak 2015. Proyek itu akhirnya diberi landasan hukum saat diterbitkannya Perpres No.49/2017 pada Mei lima tahun yang lalu.

Tapi hingga tahun 2017, proyek tersebut terkendala kesulitan soal penagihan ongkos pembangunan karena kontraktor BUMN kala itu belum berkontrak dengan pemerintah, dalam hal ini Kementerian Perhubungan.

Sedangkan Menteri Keuangan saat itu, kata Didiek, menyampaikan bahwa negara belum sanggup untuk mengeluarkan dana sebesar Rp 29,9 triliun untuk proyek LRT. Akhirnya, pemerintah memberikan dukungan dengan skema cicilan.

Namun hal itu juga belum sesuai dengan model bisnis yang diatur oleh Perpres. Dalam Perpres 49 Tahun 2017, KAI ditugaskan sebagai penyelenggara pengoperasian, perawatan, serta pengusahaan proyek infrastruktur dan sarana LRT yang dijadikan satu proyek. “LRT menjadi bagian dari PT Kereta Api Indonesia, dan ini akan menjadi beban,” ucap Didiek.

BISNIS

Baca: Dapat PMN Rp 4,1 Triliun, PT KAI Kebut Proyek Kereta Cepat Jakarta-Bandung

Ikuti berita terkini dari Tempo di Google News, klik di sini





Source link

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Translate »