Di Gunungkidul, kebiasaan tersebut disebut brandu (mbrandu).
Brandu merupakan kebiasaan—bahkan sudah menjadi tradisi—warga iuran memberikan uang kepada warga lain yang ternaknya sakit atau mati. Kemudian, daging ternak yang mati itu dibagi-bagikan.
“Kejadian (antraks) di Gunungkidul berulang karena ada kebiasaan brandu,” kata Dosen Fakultas Peternakan UGM Nanung Danar Dono saat ditemui di kampusnya, Jumat (7/7).
Bukan karena Gunungkidul Miskin
Nanung mengatakan kebiasaan brandu bukan dipicu kemiskinan.
“Kalau orang mengatakan warga lokasi Semanu ‘kekurangan’ itu saya tidak setuju. Kondisi sosial ekonomi sudah sangat makmur sebenarnya. Kalau dikatakan daerah minus, tidak,” katanya.
Brandu sebenarnya tradisi yang baik yaitu tolong-menolong dan rasa empati, namun ternyata salah kaprah karena memakan daging bangkai sapi itu berbahaya.
“Boleh lah membantu, tapi tolong dagingnya jangan dimakan. Dagingnya dimusnahkan. Daging bangkai itu haram,” kata Nanung.
Nanung memberikan solusi: Tradisi iuran tolong-menolong tetap ada tapi daging bangkainya tidak usah dimakan. “Dagingnya dimusnahkan,” katanya.
-
Harga sapi dewasa sehat Rp 20-23 juta;
-
Harga sapi sakit Rp 3-4 juta;
-
Harga sapi mati Rp 500 ribu-Rp 1 juta.
Anjloknya itu yang juga bikin kebiasaan brandu menjadi terus-menerus ada.
Nanung mengatakan salah satu solusi yang bisa dikerjakan pemerintah adalah memberikan insentif kepada peternak yang sapinya mati karena penyakit.
Selain itu skema asuransi pada ternak juga bisa diterapkan. Hanya saja, apakah peternaknya mau dan apakah penjamin juga bersedia.
Recent Posts
- Agent Diary: Isn’t it time travel was regulated with a proper qualification?
- Adu Gagasan Khofifah, Luluk dan Risma soal Tekan Kemiskinan di Madura
- Sapta Nirwandar : Halal Tourism, Pertumbuhan Tercepat Dorong Ekonomi Global.
- Premier Resorts & Management Opens Renaissance Hotel on Daytona Beach Oceanfront
- Company hacked after accidentally hiring North Korean cyber criminal | Science & Tech News
Recent Comments