Energi Komunikasi di Bulan Fitri


PEMERINTAH memprediksi masyarakat yang akan mudik pada Lebaran 2022 sekitar 85 juta orang. Saya termasuk salah satu dari jumlah itu. Sudah dua tahun rasa rindu harus ditahan karena ada pembatasan ketat mudik terkait pandemi covid-19, membuat eforia makin menggelora. Kerinduan terhadap kampung halaman tak bisa lagi ditunda.

Ratusan kilometer menyusuri jalan untuk bersilaturahmi dengan sanak famili, seolah tak ada arti. Kelelahan langsung terbayar ketika tiba di tempat tujuan. Tradisi yang membudaya dalam masyarakat Indonesia ini memang sepatutnya dilestarikan, berkumpul bersama keluarga dan kerabat di kampung halaman.

Saya mendapati ada tiga energi yang bisa dikomunikasikan saat Idul Fitri. Apalagi Lebaran tahun ini berbeda dengan dua tahun sebelumnya, walau belum benar lepas dari pandemi. Pertama, komunikasi pada sang Khalik. Sebulan lamanya umat Islam mengecas baterai energi keimanan via rangkaian ibadah puasa, salat wajib, taraweh, dan zakat. Pengujian sang Khalik pada hamba-Nya untuk bertobat dan bermunajat.

Puasa tidak hanya menahan hawa nafsu, namun menyiapkan bekal yang akan kita bawa. Puasa merupakan bentuk komunikasi sang Pencipta dengan makhluk-Nya (juga sebaliknya) untuk membentuk ketaatan agar menjadi orang yang bertakwa. Bukhari dan Muslim meriwayatkan hadits yang artinya, “Bagi orang yang berpuasa akan mendapatkan dua kebahagiaan yaitu kebahagiaan ketika dia berbuka dan kebahagiaan ketika berjumpa dengan Rabbnya.” Kebahagiaan sejati bertemu dengan-Nya.

Bulan fitri telah tiba, selesai sudah diklat keimanan yang dilalui. Pilihannya ada pada kita; apakah akan terus mendiklatkan diri sendiri dengan meningkatkan keimanan atau istikomah, atau malah sebaliknya? Semoga istikomah pilihannya.

Kedua, komunikasi pada sesama. Kumandang syahdu takbir menutup Ramadan selalu dirindukan. Sebelum salat Id, ada perintah melaksanakan zakat fitrah kepada orang yang membutuhkan. Zakat fitrah merupakan bentuk energi komunikasi pada sesama. Merasakan apa yang mereka rasakan, membagi kebahagiaan atas apa yang kita bahagiakan bersama. Tak berkurang harta untuk zakat, seperti hadis riwayat Muslim, “Sedekah (zakat) tidak akan mengurangi harta.” Bahkan Allah memberikan ganjaran keberkahan dari harta kita.

Bulan fitri telah tiba, ucapan salam dan maaf disampaikan kepada sesama. Apakah kita benar-benar sudah memaafkan dan dilanjutkan mendoakan mereka? Mudah-mudahan tidak sekadar seremoni yang meminggirkan esensi dari komunikasi pada sesama itu sendiri.

Ketiga, komunikasi pada diri sendiri. Penyambutan bulan Syawal meninggalkan kenangan Ramadan. Hari fitri merupakan bentuk komunikasi pada diri sendiri. Kita sebagai hamba-Nya sudah menjalankan perintah dan menjauhi larangan-Nya. Kita memaafkan masa lalu yang penuh dosa. Berjuang untuk hari ini dan merajut asa untuk masa depan. Paralel dengan merayu pujian indah dan harap pada-Nya karena ikhtiar terus dijaga. Sebagaimana firman Allah SWT dalam Alqur’an surat Ar-Ra’d ayat 11 yang artinya, “Sesungguhnya Allah tidak mengubah keadaan sesuatu kaum sehingga mereka mengubah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri.” 

Bulan fitri telah tiba renungan diri terus mewanti. Bisakah kita menjadi kaum yang mengubah diri untuk kebaikan atas pertolongan Allah SWT? Jawabannya mampu, sesuai janji-Nya. Oleh karena itu, kita perlu bertanya pada diri masing-masing apakah sebulan yang sudah dilalui ini sudah melaksanakan perintah dan menjauhi larangan-Nya dengan sebenar-benarnya? Jawaban kita akan memperlihatkan kualitas ketakwaan.

Bulan fitri menjadi momentum untuk selalu merefleksikan pada ketiga komunikasi tersebut; kepada Sang Khalik, sesama, dan diri sendiri. Semakin berenergi komunikasi kita, semakin syahdu merasakan kembali pada fitri.






Source link

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Translate »