Ritual Kapu di Kampung Rai


SETIAP daerah tentunya mempunyai tata cara dan ritual penerimaan tamu yang berbeda-beda. Tamu ialah orang yang harus dihormati. Oleh sebab itu, kehadiran mereka harus disambut dengan sukacita dan sepenuh hati oleh si empunya rumah dan warga kampung. Tamu yang baru pertama kali menginjakkan kaki di suatu tempat menarik untuk dibincangkan, seperti adat Kampung Rai yang memiliki tradisi menerima tamu yang disebut kapu.

Ketika menjejakkan kaki pertama kali di Kampung Rai pada 2015, saya serasa menjadi ‘orang penting’ karena disambut dengan sebuah ritual yang penuh makna dan berkesan mendalam. Kampung Rai termasuk cakupan wilayah Dusun Golopota, Desa Potawangka, Kecamatan Boleng, Kabupaten Manggarai Barat, Nusa Tenggara Timur. Kehadiran saya dan beberapa rekan ke Kampung Rai bertujuan mendirikan Rumah Cerdas Komodo yang berfokus pada pendidikan sebagai bentuk tridarma dari Universitas Indonesia. Tanpa diduga, ternyata kehadiran kami sebagai ‘orang Baru’ di kampung tersebut perlu diupacarakan secara adat Manggarai.

Ritual kapu merupakan cara orang Manggarai di Kampung Rai mengucapkan salam selamat datang kepada tamu yang baru pertama kali menginjakkan kaki di tanah mereka. Kapu dalam bahasa Manggarai yang artinya ‘pangku’ dimaksudkan sebagai memangku tamu, sebagai tanda penghormatan. Karena tamu yang beragam profesi dan dengan variasi ukuran berat badan yang berbeda, tentunya tidak mungkin itu diartikan sebagai dipangku secara harafiah. Kapu sebagai memangku hanyalah sebuah arti kiasan bagi orang Kampung Rai untuk menghilangkan rasa lelah setelah tamu menempuh perjalanan panjang dan jauh.

Kapu juga dimaksudkan untuk membersihkan (buang sial) bagi tamu yang baru datang dari segala pengaruh buruk/jahat selama perjalanan yang mungkin dapat mendatangkan kesialan bagi si empunya. Kapu juga dimaknai bahwa tamu telah diterima secara adat Manggarai sebagai bagian dari keluarga Kampung Rai, yakni dengan terlebih dahulu melakukan ritual pemotongan ayam.

 

Proses ritual

Warga dari tiga kampung yang bernaung dalam wilayah administratif Dusun Golopota telah berkumpul di rumah tempat kami tinggal selama berada di Kampung Rai. Pak Eman sebagai induk semang kami bertindak sebagai tuan tumah. Tiga ayam kampung masing-masing berwarna cokelat, abu-abu lurik, dan putih melambangkan kehadiran warga yang berasal dari tiga kampung.

Kami pun segera bergegas memasuki ruang tamu yang sudah dipenuhi kaum lelaki dari tiga kampung. Kaum perempuan dan anak-anak masih berada di dapur guna mempersiapkan makanan untuk semua peserta ritual. Mereka akan bergabung setelah dipanggil dan saat itu sekaligus menandakan ritual akan dimulai. Segala tata cara penerimaan tamu sebelumnya telah dibisikkan kepala kampung kepada kami, tetamu. Mencoba menyelami setiap penjelasan dan memahaminya, tetapi rasanya baru kami mengerti setelah ritual terselenggara dan kami menjadi bagian di dalam ritual tersebut.

Ritual kapu dibuka dengan pemberitahuan Tetua Golo (ketua dusun) kepada warganya bahwa mereka kedatangan tamu dari jauh dari Jakarta dan akan tinggal selama beberapa hari di kampung mereka. Dengan menggunakan bahasa Manggarai, Tetua Golo berucap, “Oke one wae ago oke one leso silin,” yang dimaknai dengan buang jauh-jauh semua itu atau biarkan terbenam saat matahari terbenam sehingga saat masuk rumah dalam keadaan selamat. Artinya, bahwa semua hal yang buruk/jahat yang mungkin terikut selama perjalanan si tamu agar dibuang jauh-jauh dan ketika tamu memasuki kampung sudah dalam keadaan bersih dan selamat.

Setelah menyampaikan pengumuman kedatangan tamu, Tetua Golo mempersilakan mereka untuk menyampaikan maksud kedatangan ke wilayah itu. Saya sebagai ketua rombongan menjelaskan maksud kehadiran kami yang ingin membantu pendidikan warga Kampung Rai, terutama anak-anak, melalui pendampingan calistung (membaca, menulis, dan menghitung) sambil mendongeng, bernyanyi, dan bermain agar menyenangkan. Mempelajari adat istiadat di situ juga menjadi perhatian kami untuk menambah pengetahuan dan wawasan tentang keragaman budaya suku bangsa di Indonesia, utamanya di Manggarai.

Kami pun berterima kasih kepada warga Kampung Rai yang telah berkenan menerima kehadiran kami dan membolehkan kami bermalam untuk beberapa lama di rumah salah seorang warga. Warga memanggut-manggutkan kepala tanda memahami penjelasan kami. Senyum lebar juga mengembang sebagai sukacita mereka terhadap kedatangan kami.

Seusai kami menjelaskan segala maksud kedatangan, Tetua Golo mempersilakan untuk memotong ketiga ayam sebagai tanda ketulusan hati warga Kampung Rai dalam menerima kami sebagai tamu dan telah menjadikan tamu bagian dari keluarga mereka.

 

Spirit toleransi

Asas resiprositas dari Marcell Mauss tentang ‘pemberian’ pun berlangsung dalam ritual kapu ini. Kami sebagai tetamu menyorongkan lembaran uang kertas berwarna merah ke tengah-tengah arena tempat berkumpul peserta ritual. Uang yang kami berikan menjadi ungkapan tanda terima kasih kepada warga kampung dan induk semang yang telah berkenan menerima keberadaan kami. Dahulu, sebelum ada lembaran uang kertas, tetamu juga akan memberikan seekor ayam sebagai balasan. Perbedaan zaman mengubah pula bentuk balasan atas pemberian. Balasan uang atau ayam yang diberikan sebagai balasan dari tamu kepada warga kampung selanjutnya akan diserahkan kepada sang empunya rumah yang telah menyelenggarakan ritual kapu.

Ketiga ayam yang berwarna putih, abu-abu lurik, dan cokelat diberikan kepada perwakilan setiap kampung dan masing-masing memperoleh seekor ayam. Tetua kampung kemudian mengelilingi setiap warga peserta ritual sampai orang terakhir dengan cara menyorongkan ayam di atas kepala si tuan rumah.

Satu per satu ayam dibawa mengelilingi warga hingga selesai. Setelah semuanya teberkati, ayam pun segera dipotong. Yang kami kagumi, warga Kampung Rai menunjukkan toleransi kehidupan beragama yang amat tinggi. Warga yang semuanya beragama Katolik mempersilakan salah seorang dari rombongan kami yang beragama Islam untuk menyembelih ayam-ayam tersebut sesuai dengan ajaran Islam. Hal itu mereka lakukan agar kami nanti dapat memakan daging ayam yang telah dimasak nanti secara halal.

Di tengah keprihatinan atas menurunnya sikap toleransi di negeri ini, ternyata di Kampung Rai hal itu justru masih dijunjung tinggi. Itulah keberagaman yang sesungguhnya dan semestinya hadir di bumi Indonesia. Indahnya rasa kebersamaan dalam perbedaan yang dibalut dengan sikap toleransi yang amat tinggi telah dipraktikkan dari kampung nun jauh di sana, yaitu Kampung Rai, Manggarai. (M-4)

Tentang penulis

Sri Murni merupakan anggota dan pengurus Asosiasi Tradisi Lisan (ATL). Saat ini, tercatat sebagai pengajar di Departemen Antropologi FISIP UI.






Source link

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Translate »