Pemanfaatan Kulit Nabati dalam Industri Fesyen kini Makin Populer


KESADARAN tentang pentingnya keberlanjutan lingkungan, mendorong para pelaku industri fesyen mulai meninggalkan bahan baku dari kulit hewan. Sebagai gantinya mereka memanfaatkan kulit nabati yang terbuat dari limbah buah-buahan atau tanaman, seperti anggur, kaktus, bahkan jamur.

Penggunaan kulit alternatif nonhewani kini makin berkembang dan populer.  Pekan ini, seperti dilandir The Guardian, produsen sepatu merek Lerins milik Dune Daniel Rubin, baru saja merilis sepatu seharga 130 poundsterling atau kurang lebih Rp2,3 juta yang terbuat dari sisa kulit anggur.

Apa yang disebut “kulit nabati” menjanjikan manfaat besar bagi planet ini. Lerins tidak hanya memanfaatkan aliran limbah yang ada (seperti halnya “kulit” yang terbuat dari apel, pisang, dan nanas), tetapi juga memutuskan hubungan dengan industri peternakan. Dengan begitu, mereka mengurangi masalah emisi gas rumah kaca, deforestasi, dan kesejahteraan hewan.

Lerins tidak sendiri. Beberapa merek jenama ternama juga banyak yang memanfaatkan alternatif kulit nabati, di antaranya Allbirds, Herms, Reformation, dan Stella McCartney, putri bassist The Beatles, Paul McCartnrey, yang berprofesi sebagai perancang busana.

Dan bukan hanya kulit nabati yang mendapat perhatian. Pekan ini, actor Leonardo DiCaprio dan Kering, perusahaan induk merek fesyen seperti Gucci, Saint Laurent, dan Balenciaga, juga menginvestasikan jumlah yang signifikan di startup kulit yang dikembangkan di laboratorium California, VitroLabs. Proses pembuatan kulit di laboratorium ini melibatkan budidaya sel punca untuk mereplikasi kulit hewan, sehingga kulit diharapkan menjadi kuat dan tahan lama seperti kulit konvensional.

“Kami berada di titik balik,” kata jurnalis dan penulis Amerika, Dana Thomas. “Ketika saya menulis Fashionopolis [pada 2019, membahas masa depan mode berkelanjutan], ihal seperti ni dalam tahap pengujian, sekarang telah diluncurkan secara komersial. Sangat menyenangkan melihatnya terwujud.”

Pada Agustus, Stella McCartney meluncurkan sepatu dan tas kulit anggur, dan akhir tahun ini ia juga akan meluncurkan tas kulit jamur, terbuat dari miselium, struktur akar jamur. Sepatu kulit tanaman pertama Allbirds, juga dibuat dengan minyak nabati dan karet alam.

Nicole Rawling, CEO dari Prakarsa Inovasi Bahan amal yang berbasis di California, yang menyatukan merek, ilmuwan, dan investor untuk mempercepat generasi berikutnya dari bahan nonhewan ini, mengatakan tahun lalu dana US$980 juta telah dikumpulkan untuk membuat kain yang menggantikan bahan berbasis hewani, termasuk sutra dan wol.

Sayangnya,  kulit alternatif berbahan nabati ini masih sulit bersaing dengan daya tahan kulit sapi. Dr Laetitia Forst, peneliti postdoctoral fashion berkelanjutan di University of the Arts London mengatakan “Anda harus menggantinya setiap tahun dibandingkan setiap 10 tahun, dampak keseluruhannya akan jauh lebih tinggi.”

Ironisnya, solusinya sejauh ini adalah plastik. Banyak dari alternatif kulit ini menggunakan lapisan poliuretan untuk meningkatkan daya tahan. “Jika Anda menggabungkan bahan alami dan sintetis, akan ada masalah pada tahap akhir masa pakainya,” kata Philippa Grogan dari Eco-Age. “Plastik akan membahayakan biodegradabilitas produk.”

Namun, baik McCartney dan Lerins bekerja dengan perusahaan biomaterial Vegea, yang menggunakan poliuretan berbasis air, dan mengatakan bahwa ini adalah “poliuretan paling bertanggung jawab terhadap lingkungan yang tersedia. Allbirds bahkan mengklaim kulit tumbuhan miliknya 100% bebas plastik.

Tidak diragukan lagi bahwa industri kulit nabati/vegan ingin memecahkan masalah tersebut. “Tidak ada yang senang memiliki petrokimia dalam produk mereka,” kata Rawling. Ia optimistis persaingan akan memaksa perusahaan untuk mengembangkan solusi yang lebih berkelanjutan. (M-4)






Source link

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Translate »