Petani Bingung Soal Solusi Harga Sawit Jatuh: Bagaimana Hadapi Krisis?


TEMPO.CO, Jakarta – Ketua Umum Serikat Petani Indonesia (SPI) Henry Saragih mengatakan pemerintah belum memberikan solusi kepada petani kelapa sawit atas jatuhnya harga tandan buah segar (TBS). Harga TBS kelapa sawit sebelumnya amblas akibat pelarangan sementara ekspor bahan baku minyak goreng atau crude palm oil (CPO) yang berlaku sejak 28 April 2022.

“Bersamaan dengan itu, tidak ada penjelasan ke kita (petani), bagaimana menghadapi masa krisis ini? (Pemerintah) Cuma mengatakan harus maklum. Mana bisa begitu kan?” katanya saat dihubungi, Minggu sore, 8 Mei 2022.

Henry mengatakan semestinya kebijakan pemerintah melarang ekspor CPO memperhatikan dampaknya ke petani. Apalagi sampai sekarang, SPI belum mengetahui kapan larangan sementara ekspor itu berakhir.

“Ya sudahlah, kamu hadapi dulu. Tidak ada pertimbangan dampak. Tidak ada pemerintah misalnya memanggil kita ada pelarangan ekspor. Anda menghadapi begini-begitu, tidak ada,” tuturnya.

Adapun petani sawit sudah menderita kerugian sebelum larangan ekspor resmi berlaku. Henry mencatat setelah larangan ekspor CPO diumumkan, harga TBS langsung turun 30-50 persen.

Berdasarkan data SPI, harga TBS yang semula berkisar Rp 3.000 per kilogram anjlok menjadi Rp 1.500-1.600 per kilogram. Walhasil, dia menaksir total kerugian petani anggota SPI mencapai Rp 250 miliar pada rentang 23-28 April 2022. Kerugian itu dihitung dengan cakupan luas lahan lebih-kurang 100 ribu hektar.

Harga yang terjun bebas itu, Henry melanjutkan, juga membuat pendapatan petani berkurang drastis. “Terasa tentunya, apalagi sewaktu Lebaran orang (petani) yang (biasanya) dapat harga Rp 3.000 tiba-tiba cuma jadi Rp 1.500-an, kan berkurang harga hampir separuhnya. Bahkan di tempat lain katanya ada yang sempat tidak terjual,” tuturnya.

Faktor kerugian lainnya, Henry menjelaskan, ialah masalah menumpuknya stok TBS. TBS, kata dia, sebaiknya disimpan hanya dalam waktu 24 jam sejak dipanen dari kebun. Jika melewati rentang waktu itu, petani terpaksa membuang buah segar atau dijadikan sebagai kompos.

“Dia (TBS) enggakbisa, begitu dipanen harus masuk ke pabrik. Harusnya 24 jam, tidak boleh lebih. Maka tidak ada jaminan di pabrik, sawit lebih bagus tidak usah dipanen dulu,” katanya.





Source link

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Translate »