Reorientasi Pendidikan Nasional


HARI Pendidikan Nasional (Hardiknas) tahun ini bertepatan dengan Hari Raya Idul Fitri 1443 H dan cuti bersama. Berdasarkan Pedoman Peringatan Hari Pendidikan Nasional Tahun 2022 Nomor 28254/MPK/TU.0203/2022, tanggal 22 April 2022, seremoni (upacara) Hardiknas akan dilaksanakan pada 13 Mei 2022. Tema Hardiknas tahun ini ialah Pimpin pemulihan, bergerak untuk merdeka belajar. Salah satu tujuan seremoni peringatan Hardiknas ialah ‘mengingatkan kembali kepada seluruh insan pendidikan akan filosofi perjuangan Ki Hadjar Dewantara (KHD) dalam meletakkan dasar dan arah pendidikan bangsa’.

Tujuan pelaksanaan seremoni Hardiknas menjadi relevan dengan kondisi bangsa saat ini mengingat saat ini kita begitu mudah terancam oleh disintegrasi karena perbedaan politik dan agama; mengingat secara akademik, mutu pendidikan nasional yang tak kunjung membaik jika menggunakan ukuran peringkat yang dikeluarkan Programme for International Student Assessment (PISA) 2018 yang dirilis pada Maret 2019, yaitu peringkat ke-74 dari 79 negara yang disurvei.

Tiga bidang kompetensi yang diuji ialah membaca, matematika, dan ilmu pengetahuan; secara moral, kita sering mendengar berita siswa-siswa kita tawur, merundung teman mereka, siswa merokok di luar sekolah tanpa ada yang peduli atau berani menegur mereka, pelecehan seksual di lembaga pendidikan yang dilakukan siswa dan guru, guru yang menghukum siswa di luar batas kewajaran (adakah hukuman yang dalam batas kewajaran?), siswa yang melawan guru, orangtua yang tidak terima proses pendidikan di sekolah yang menyangkut anak mereka, dan masih banyak lagi informasi kasus yang begitu mudah kita terima di era disrupsi.

 

Taman Siswa 1922

Sebelum mendirikan Taman Siswa, KHD ialah jurnalis dan politikus. Sebagai seorang jurnalis, tulisan-tulisan KHD enak dibaca, bahasanya santun, tetapi sangat kritis terhadap pemerintah kolonial. Salah satu tulisan KHD yang monumental dalam sejarah pemikiran politik Indonesia berjudul Seandainya Aku Seorang Belanda (Als Ik een Nederlander Was) pada 1913. Dalam tulisan itu, KHD mengkritik pemerintah kolonial yang akan menyelenggarakan pesta 100 tahun Belanda lepas dari penjajahan Prancis, tetapi membebankan biaya pesta tersebut kepada pribumi melalui pajak. Tulisan itu dianggap mengganggu ketertiban sehingga KHD ditangkap dan diasingkan di negeri Belanda pada 1913 (Prof Dr Djoko Marihandono [Ed], 2017).

Selama di pengasingan, di tengah aktivitas jurnalistiknya, KHD menyempatkan diri mengikuti kuliah singkat di Sekolah Guru (Lager Onderwijs). Pada 12 Juni 1915, ia memperoleh ijazah kepandaian mengajar (akte van bekwaam als onderwijzer). KHD semakin memantapkan diri di dunia pendidikan, salah satunya, ialah pengaruh dari istrinya yang seorang guru. KHD sepakat dengan istrinya bahwa perjuangan tidak melulu dengan berperang atau kekerasan lainnya. Perjuangan juga dapat dilakukan melalui pendidikan, yaitu dengan mempersiapkan anak bangsa yang terdidik.

Pengaruh lainnya ialah buku-buku pendidikan yang dibaca KHD. Sistem pendidikan yang dikembangkan Maria Montessori, ahli pendidikan dari Italia, yang menekankan pada kecerdasan moral. Selain itu, buku-buku Rabindranath Tagore dari India yang menekankan pentingnya pendidikan keagamaan yang dapat digunakan untuk memperkukuh kehidupan spiritual manusia (Prof Dr Djoko Marihandono [Ed], 2017).

Sekembalinya dari pengasingan di Belanda pada 15 September 1919, KHD tidak melanjutkan kariernya di dunia jurnalistik dan politik. KHD mulai berkonsentrasi mendidik anak-anak bumiputra. Pada Juli 1922, KHD bersama Ki Mangoensarkoro mendirikan lembaga pendidikan Pergerakan Kebangsaan Taman Siswa. Dalam rapat pendiriannya, KHD berkesempatan menyampaikan dasar pendirian Taman Siswa. Menurut KHD, dengan mengadaptasi gagasan Maria Montessori dan Rabindranath Tagore, pendidikan yang human, kerakyatan, dan kebangsaan ialah tiga dasar jiwa Taman Siswa dalam mendidik anak bangsa dan mengarahkannya kepada politik pembebasan atau kemerdekaan.

Tiga dasar jiwa itu harus menjadi karakter dan tingkah laku guru yang menjadi anutan dan contoh bagi murid-murid dan masyarakat atau disebut patrap guru. KHD juga menciptakan tiga istilah perilaku guru dalam mengamong siswa yang sangat terkenal, yaitu ing ngarsa sung tulada (di depan memberi contoh); ing madya mangun karsa (di tengah membangun cita-cita); tut wuri handayani (mengikuti dan mendukung).

Satu hal yang menarik dari sistem among ialah penggunaan bahasa ibu sebagai bahasa pengantar dalam proses pengajaran, khususnya untuk siswa-siswa kelas rendah. KHD meyakini bahwa penggunaan bahasa ibu, khususnya bahasa lokal atau bahasa daerah, dapat menyentuh rasa anak untuk peka memahami mitos, legenda, hantu, dan sebagainya. Di dalam bahasa tersimpan nilai-nilai dalam masyarakat kita, juga tersimpan nilai kebatinan masyarakat, budayanya, sehingga bahasa daerah dapat memberi jalan masuk kepada anak ke hati rakyat. Penggunaan bahasa asing hanya diterapkan untuk kelas-kelas tinggi dan mata pelajaran tertentu saja (Prof Dr Djoko Marihandono [Ed], 2017).

 

Taman Siswa 2022?

Setelah menyelisik apa yang diperjuangkan KHD dalam membangun sistem pendidikan nasional yang berawal dari antitesis terhadap pendidikan ala Belanda yang mementingkan capaian akademik dan secara ‘sengaja’ mengajarkan diskriminasi terhadap kemanusiaan, dasar pendidikan nasional yang human, kerakyatan, dan kebangsaan merupakan jawaban atas keresahan terhadap sistem pendidikan yang diterapkan Belanda di wilayah Hindia Belanda tersebut.

Setelah satu abad (1922-2022) KHD membuat konsep pendidikan nasional melalui perguruan Taman Siswa, yang kemudian menjadi landasan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan sejak 1950, dengan moto yang terkenal Tut wuri handayani, masih relevan dengan kondisi bangsa saat ini. Keindahan moral dan akhlak yang menjadi tujuan pokok dari gagasan KHD semakin memudar belakangan ini.

Kasus perundungan, pelecehan seksual, dan siswa tawur menjadi berita yang belakangan ini menghias media kita. Di mana keagungan pelajaran agama, moral, dan sebagainya? Apakah karena pelajaran-pelajaran tersebut hanya menjadi pengetahuan kognitif belaka, tidak menjadi sikap siswa-siswa kita? Di mana sistem among yang selama ini menjadi dasar pendidikan nasional kita? Apakah hanya guru yang harus paham sistem among, yaitu menjadi contoh dan teladan siswa? Bagaimana dengan tokoh publik seperti politikus, selebritas, pejabat, dan sebagainya yang selama ini kehidupan mereka menjadi sorotan publik dan perilaku negatif mereka menjadi tontonan publik? Apakah mereka tidak memiliki tanggung jawab moral terhadap pendidikan siswa-siswa kita? Pertanyaan-pertanyaan itu hanya sebatas retorika agar menjadi refleksi Hari Pendidikan Nasional yang ke-63. Wallahu a’lam bish-shawab.






Source link

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Translate »