Suara.com – Ribuan buruh PT Freeport di Papua menggelar aksi mogok kerja sejak 1 Mei 2017. Dalam lima tahun pemogokan ini, lebih seratus orang meninggal dunia karena depresi atas terkatung-katungnya nasib mereka. Pemerintah dinilai gagal mengambil langkah penyelesaian.
Pada Jumat (6/5), salah satu buruh di PT Freeport yang memimpin pemogokan, Aser Koyamee Gobay, kembali mencatat salah satu rekannya yang meninggal dunia.
“Ini sudah meninggal 111 orang. Tadi pagi saya mendengar ada orang meninggal di rumah, membusuk. Dia karyawan yang mogok kerja. Dia tidak sakit, tetapi depresi. Bagaimana tidak. Lima tahun orang tidak menerima kewajiban dari perusahaan. Pemerintah juga tidak bisa menyelesaikan masalah ini. Dalam hal ini pemerintah pusat,” kata Aser kepada VOA, Jumat (6/5) malam.
Dalam catatan Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Papua, sekurangnya ada 8.300 buruh PT Freeport yang memutuskan ikut mogok. Lembaga ini, bersama Lokataru, menjadi pemdamping bagi ribuan buruh itu untuk memperjuangkan hak-haknya.
Baca Juga:
Aksi May Day di Papua, Pemerintah Dituntut Selesaikan Kasus Buruh Freeport
Pemogokan yang dimulai pada 1 Mei 2017 ini dipicu oleh langkah PT Freeport menerapkan kebijakan ketenagakerjaan, seperti furlough atau perumahan karyawan. Langkah itu diambil karena ketika itu, PT Freeport ragu-ragu dengan masa depan operasional dan investasinya di Papua. Langkah perusahaan disikapi ribuan buruh dengan melakukan pemogokan kerja. Sejak saat itu, perselisihan buruh dan PT Freeport tidak menemukan titik temu, dan ribuan buruh itu kehilangan pendapatan tanpa ada kejelasan mengenai gaji ataupun pesangon yang menjadi hak meraka.
“Mereka jadi tukang ojek, pekerja kasar, pekerja lepas, apapun mereka lakukan. Karena mereka merasa bahwa mogok kerja yang dilakukan adalah hak dasar,” tegas Aser.
Gubernur Papua pernah berkirim surat yang intinya meminta PT Freeport untuk segera mempekerjakan kembali ribuan buruh yang mogok. Namun permintaan itu tidak ditanggapi. Pada 2018, pemerintah memegang kendali sebagai pemilik 51 persen saham. Namun, tambah Aser, tetap tidak ada tindak lanjut dari pusat, baik itu dari Kementerian Ketenagakerjaan maupun Kementerian ESDM.
“Dalam hal ini pemerintah, melalui holding BUMN tambang MIND ID atau Freeport-McMoRan sebagai perusahan, mereka bertangung jawab untuk penyelesaian mogok kerja dan pemenuhan hak-hak buruh,” tandas Aser.
Sepanjang lima tahun ini, dikatakan Aser, buruh hanya bisa menunggu langkah pemerintah pusat menyelesaikan persoalan.
Baca Juga:
Eks Buruh Freeport Diusir dari Seberang Istana, Aktivis Kritik Paspampres
“Anggota mogok kerja sedang menunggu penegakan hukum dan keadilan di daerah. Bagaimanapun, pemerintah harus menyelesaikan persoalan mogok kerja ini, sesuai mekanisme yang berkaku,” ujar Aser lagi.
IKUTI BERITA LAINNYA DI GOOGLE NEWS
Recent Posts
- Colliers Quick Hits | From Travel Volumes to Labor Costs: 10 Trends Driving Hospitality Toward 2025
- Donald Trump watches SpaceX launch with Elon Musk, but test flight does not go as planned | US News
- Remaja Asal Bandung Jadi Korban TPPO di Saudi, Terlena Iming-iming Gaji
- Agents offered Gordon Ramsey cookery masterclass in St Kitts incentive
- Kabareskrim Kirim Tim Usut Polisi Tembak Polisi di Solok Selatan
Recent Comments