JAKARTA, bisniswisata co.id: Obrolan dua emak-emak siang itu cukup seru membahas masih bingungnya masyarakat mengenai branding Halal Tourism yang menjadi trend dunia dan bagaimana negara-Non Muslim gencar bahkan berlomba-lomba mempromosikan negaranya sebagai destinasi ramah muslim atau Muslim Friendly Tourism.
Pekan lalu saya memang diundang podcast oleh PT. Multimedia Eksplorasi Noesantara, sebuah perusahaan organizer yang bergerak dalam bidang penyelenggaraan event yang juga punya perhatian mendalam dalam pengembangan pariwisata di tanah air. Perusahaan ini bahkan membuat aplikasi kebutuhan jasa wisata dan destinasi wisata di setiap Kabupaten di tanah air untuk memudahkan para traveler mengeksplor suatu daerah.
Hernamawaty, penggiat pariwisata di Sulawesi Tenggara yang mewawancarai saya seperti masyarakat Indonesia pada umumnya mengatakan bahwa mengapa harus memakai brand Halal tourism ? toh Indonesia dengan 270 juta penduduknya mayoritas beragama Islam.
Mengapa beberapa daerah bahkan mengancam Menparekraf Sandiaga Uno ketika baru diangkat menjadi Menparekraf dengan kata-kata kasar “Jangan bawa-bawa wacana wisata halal ( Halal Tourism) ke daerah kami,” jejak digital ucapan-ucapan di media sosial itu hingga sekarang masih ada.
Halal tourism menjadi tren dunia karena adanya peningkatan jumlah wisatawan Muslim yang mencari destinasi sesuai dengan nilai dan kebutuhan mereka. Beberapa faktor yang mendorong tren ini adalah pertumbuhan populasi muslim di seluruh dunia.
Saya yang rajin mengikuti perkembangan Mualaf di dunia lewat YouTube kerap terkejut. Soalnya populasi Muslim dunia terus bertumbuh, terutama di negara-negara dengan ekonomi yang berkembang. Mereka menjadi segmen pasar yang semakin penting dalam industri pariwisata.
Apalagi paska COVID-19, penduduk dunia yang beragama Non Muslim juga berbondong-bondong memilih makanan halal mulai dengan mendatangi toko-toko daging halal hingga makan di restoran halal karena memiliki keyakinan atas jaminan produk Halal.
Hidup di era VUCA singkatan dari volatility, uncertainty, complexity, dan ambiguity, artinya dunia yang kita hidupi sekarang, perubahannya sangat cepat, tidak terduga, dipengaruhi oleh banyak faktor yang sulit dikontrol, dan kebenaran serta realitas menjadi sangat subyektif.
Perkembangan teknologi dan informasi menjadi salah satu pengaruh terbesar dari perubahan ini. Permintaan yang tinggi membuat sektor wisata halal ( halal tourism) juga menjadi salah satu bagian dari Halal Industry yaitu Keuangan Syariah, Food & Beverage, Fashion, Farmasi, Kosmetik, Wisata halal hingga Media dan Rekreasi.
Laporan Ekonomi Islam Global (SGIE) yang dikeluarkan oleh Mastercard CrescentRating Global Muslim Travel Index (GMTI) ke sepuluh mengenai ekonomi Islam Global yang disebut sebagai gaya hidup Halal mencatat pasar belanja telah tumbuh dari konsumen sebesar US$1,62 triliun seperti yang diperkirakan pada tahun 2012, menjadi US$2,29 triliun pada tahun 2022.
Hal ini didorong oleh generasi muda dan
populasi global yang tumbuh pesat dan melampaui batas-batasnya dengan 2 miliar lebih konsumen Muslim inti dipasar konsumen etis global yang lebih luas.
Begitu pula peningkatan pendapatannya sehingga banyak negara dengan mayoritas Muslim mengalami peningkatan ekonomi, dan masyarakatnya memiliki daya beli lebih tinggi untuk bepergian dan berwisata. Tak heran SGIE melihat pengeluaran penduduk Muslim untuk berwisata akan tumbuh US$300 miliar pada 2026.
Perubahan yang cepat pasca COVID-19, direspon aktif oleh negara-negara negara Non Muslim untuk memenuhi kebutuhan layanan ramah Muslim dengan menyatakan bahwa negara mereka adalah destinasi yang ramah Muslim atau Muslim Friendly Tourism. Apalagi multiplier effect pariwisata diyakini memiliki dampak berganda yang cepat untuk pemulihan ekonomi dunia yang terpuruk pasca pandemi global itu
Kini wisatawan Muslim cenderung mencari fasilitas seperti makanan halal, tempat ibadah, dan akomodasi yang mengikuti prinsip syariah. Hal ini membuat industri pariwisata menyesuaikan layanan mereka agar lebih inklusif.
Peningkatan kesadaran spiritual membuat banyak wisatawan Muslim yang ingin menikmati liburan tanpa harus khawatir melanggar prinsip agama. Halal tourism memungkinkan mereka menikmati wisata sesuai dengan keyakinan spiritual mereka.
Negara-negara yang tergabung dalam Kerjasama Islam ( OKI) dengan anggota 57 negara termasuk Indonesia jauh sebelum COVID sudah memiliki panduan Halal Tourism Services ( HTS), suatu standar pelayanan untuk wisata halal yang justru pertama kalinya di bahas di Jakarta, Indonesia.
“Potensi ekonomi yang besar dan laporan dari berbagai riset memperkirakan bahwa industri pariwisata halal akan terus tumbuh dan menjadi peluang ekonomi besar, sehingga semakin banyak destinasi wisata yang beradaptasi dengan kebutuhan ini.
Saya justru bertanya pada bu Hernamawaty, mengapa Indonesia memperlakukan Halal Tourism hanya dengan kategori minat khusus di Kementrian Parekraf ?. Bagaimana visinya setelah berdiri sendiri jadi Kementrian Pariwisata ? Kemana sosialisasinya ?,” kata saya pada sang pewawancara.
Jangan-jangan Islamphobia justru terjadi dinegara Muslim terbesar di negri ini dan para senator yang tidak memiliki pengetahuan ini tanpa rasa malu berkoar-berkoar menentang Halal Tourism. Apalagi ironisnya lagi Biro Perjalan Wisata ( BPW) yang menjual paket-paket wisata halal ke luar negri sibuk memboyong wisatawan Indonesia ke Jepang, Taiwan, Hong Kong, Singapura, Thailand dan negara-negara yang menyebut dirinya Muslim Friendly Tourism bukan menggerakan jutaan warga Indonesia berwisata halal di dalam negri sendiri untuk kesejahteraan rakyat bukan buang dollar.
Dengan adanya halal tourism, banyak destinasi kini menyediakan layanan yang lebih beragam dan ramah Muslim. Ini tidak hanya menguntungkan wisatawan Muslim, tetapi juga membuka peluang baru bagi sektor pariwisata untuk menarik wisatawan dari berbagai latar belakang.
Brand Muslim Friendly Tourism sering kali lebih populer daripada Halal Tourism karena dianggap lebih inklusif dan fleksibel, sehingga dapat menarik audiens yang lebih luas. Memang fleksibilitas dan keterbukaan membuat brand Muslim Friendly Tourism menawarkan konsep yang lebih inklusif dan ramah bagi wisatawan Muslim, namun tidak secara ketat mengikuti syariat Islam seperti konsep Halal Tourism.
Dengan kata lain, destinasi atau layanan yang Muslim Friendly biasanya hanya menyediakan beberapa fasilitas dasar yang menunjang kebutuhan wisatawan Muslim, tanpa benar-benar mengikuti aturan halal sepenuhnya agar memungkinkan wisatawan dari berbagai latar belakang merasa lebih nyaman.
Alasan lainnya demi aksesibilitas bagi pasar karena Istilah “Muslim Friendly” sering dianggap lebih netral dan menarik untuk destinasi di negara-negara non-Muslim yang ingin memperluas layanan tanpa kesan terlalu religius.
Dengan istilah ini, negara-negara tersebut tetap bisa menarik wisatawan Muslim tanpa harus menerapkan aturan yang terlalu ketat. Brand ini mencakup fasilitas seperti tempat sholat, makanan tanpa babi atau alkohol, namun belum tentu memenuhi standar halal dalam setiap aspek.
“ Halal tourism itu extended services, sudah berulangkali tokoh seperti mantan Wapres Ma’ruf Amin, ex Wamenparekraf Sapta Nirwandar yang juga Ketua Indonesia Halal Lifestyle Center ( IHLC) sangat sering menjelaskan bahwa orang Islam meski sedang berwisata harus tetap sholat lima waktu dan mendapat asupan makanan halal.
Jadi si penyelenggara tour membawa makan ke restoran bersertifikat halal, ke destinasi wisata juga yang menyediakan Mushola atau Mesjid yang bersih sesuai citra Islam, tambah saya lagi pada Hernamawaty
Halal itu brand dari Allah dan memiliki konotasi khusus yang berhubungan langsung dengan aturan syariah Islam, yang kadang dianggap terlalu ketat bagi negara-negara dengan mayoritas non-Muslim. Makanya Muslim Friendly Tourism menjadi alternatif yang terasa lebih mudah diadaptasi dan dipromosikan secara global, karena dapat diterima oleh pasar yang lebih luas.
Tapi sebagai negara Muslim terbesar di dunia maka Indonesia seharusnya mempromosikan dengan brand Halal Tourism bukan ikut-ikutan dengan sebutan Muslim Friendly Tourism. Jangan lupa kata Halal itu disebutkan dalam Alquran lebih dari 30 kali. Masih mau ikutan trend atau mengikuti syariat Islam ? Senator, kepala daerah dan para penguasa masih mau Islamphobia ?
Jadi Muslim Friendly Tourism dan Halal Tourism adalah dua konsep dalam industri pariwisata yang sering kali dianggap serupa, namun sebenarnya memiliki perbedaan yang signifikan dalam hal layanan dan fasilitas yang ditawarkan.
Halal Tourism lebih fokus pada menyediakan semua aspek perjalanan yang sepenuhnya sesuai dengan hukum Islam, mencakup makanan, akomodasi, dan kegiatan yang semuanya harus mematuhi standar halal ( bersertifikat). Semua elemen perjalanan harus bebas dari unsur-unsur yang diharamkan menurut syariat Islam.
Dalam Halal Tourism, semua fasilitas dan layanan, mulai dari makanan hingga akomodasi dan kegiatan, diatur agar sepenuhnya memenuhi standar halal. Ini termasuk makanan yang disiapkan dan disajikan dengan metode yang sesuai syariah, hotel yang tidak menyediakan alkohol dan menyediakan fasilitas ibadah yang memadai, serta kegiatan wisata yang tidak bertentangan dengan nilai-nilai Islam.
“Di Thailand banyak wisata kategori haram jadah, jadi BPW dan negara itu juga tidak menawarkan maksiat tapi justru hotel Al-Meroz Bangkok berani mempromosikan diri sebagai Leading Halal Hotel di negara yang mayoritas Budha. Saya pernah menulis berani nggak The Trans Resort Bali mempromosikan diri sebagai The Leading Halal Hotel tapi tak ada tanggapan”.
Secara keseluruhan, perbedaan utama antara kedua konsep ini adalah tingkat kepatuhan terhadap pedoman halal. Muslim Friendly Tourism memberikan fleksibilitas lebih besar dan fokus pada kenyamanan wisatawan Muslim secara umum, sementara Halal Tourism menekankan pada pemenuhan semua standar halal secara ketat dalam setiap aspek perjalanan.
Bagaimana bu Menteri Pariwisata Widyanti Putri Wardhana ? Berani mengembangkan dan membranding Halal Tourism di negri sendiri ?
Recent Posts
- Agents offered Gordon Ramsey cookery masterclass in St Kitts incentive
- Kabareskrim Kirim Tim Usut Polisi Tembak Polisi di Solok Selatan
- U.S. Travel Inducts William D. “Bill” Talbert, III, Christopher L. Thompson into Hall of Leaders
- Instagram unveils new feature as govt tightens online safety rules | Science, Climate & Tech News
- Merry Swiss-mas!
Recent Comments