Dilema Belanda Ketika Akui Kemerdekaan Indonesia 17 Agustus 1945, Agar tidak Melukai Hati Veteran


Perdana Menteri Belanda Mark Rutte bersama Presiden Jomowi pada Oktober 2019. Pengakuan Belanda terhadap kemerdekaan Indonesia 17 Agustus 1945 akankah melukai hati para veteran Belanda? (foto: antara/republika).
Perdana Menteri Belanda Mark Rutte bersama Presiden Jomowi pada Oktober 2019. Pengakuan Belanda terhadap kemerdekaan Indonesia 17 Agustus 1945 akankah melukai hati para veteran Belanda? (foto: antara/republika).

Dalam debat di parlemen Belanda, Rabu (14/6/2023) muncul penilaian, hasil penelitian mengenai Kemerdekaan, Dekolonisasi, Kekerasan, dan Perang di Indonesi 1945-1950 sangat bernuansa. Adanya detal kekerasan ekstrem yang oleh Partai Groenlinks dianggap sebagai kejahatan perang, tentu berdampak secara pskilogis terhadap keluarga veteran perang.

Oohya! Baca juga ya:

Mengapa Belanda tak Mau Akui Kekejaman Selama Perang Kemerdekaan Indonesia Sebagai Kejahatan Perang?

Scroll untuk membaca

Scroll untuk membaca

Pengakuan Kemerdekaan Indonesia, Mark Rutte: Saya Ingin Membicarakannya dengan Presiden Indonesia

Debat Kejahatan Perang Vs Kekerasan Ekstrem Terkait Pengakuan Kemerdekaan Indonesia oleh Belanda

Para veteran yang terlibat dalam Perang kemerdekaan Indonesia, yang selama ini dianggap sebagai pahlawan oleh bangsa Belanda, dengan bukti-bukti hasil penelitian itu menjadi pihak yang merasa dipersalahkan. “Kesimpulan utama para peneliti itu menyakitkan,” kata Perdana Menteri Belanda Mark Rutte ketika berbicara di acara debat itu, seperti yang tercatat dalam stenogram debat yang ditayangkan di tweedekamer.nl.

Ia menyebut ada kekerasan struktural dan ekstrem, yang menjadi tanggung jawab angkatan bersenjata sebagai institusi dan kepemimpinan politik pada saat itu. “Para peneliti juga menyimpulkan dengan begitu banyak kata bahwa militer Belanda sebenarnya dikirim untuk misi yang mustahil, mau tak mau. Itu juga merupakan bagian dari tanggung jawab politik pada masa itu,” lanjut Rutte.

Rutte lantas mengajukan pertanyaan besarnya. “Apakah perdebatan tentang sejarah menjadi lebih mudah seiring berjalannya waktu? Saya rasa tidak.” Kata Rutte.

Rutte lalu mememaparkan situasi lima tahun terakhir bahwa kelompok besar veteran, orang Indo-Belanda, masyarakat Maluku di Belanda, dan anak cucu mereka, lima tahun ini mengimpan emosi yang sangat tinggi. “Anda juga dapat mendengarnya dalam debat hari ini. Itu juga bisa dimengerti. Itulah mengapa penting bagi kita untuk membicarakannya hari ini, di sini, di rumah ini, karena pada akhirnya inilah tempatnya. Karena kami tidak dapat melakukan semua ini di lapangan besar dengan 17 juta orang. Kami membahas tema sosial utama di sini dengan 150 orang atas nama 18 juta orang tersebut. Pemahaman, pengolahan, dan dialog selalu dimulai dengan pengetahuan, wawasan, pikiran terbuka, dan penilaian fakta yang jujur. Itu sebabnya saya katakan: itu bukan masa lalu yang sempurna, tetapi sejarah yang hidup,” tutur Rutte.

Maka, kata Rutte, permintaan maaf pemerintah layak diajukan kepada mereka yang menghadapi konsekuensi dari dekolonisasi itu. Yaitu kepada para veteran dan anak cucunya, masyarakat Maluku di Belanda dengan anak cucunya, masyarakat Indo-Belanda dan anak cucunya.

“Ya. Saya ingin mengatakan sekali lagi bahwa permintaan maaf juga ditujukan kepada militer. Permintaan maaf ini tidak hanya ditujukan kepada pimpinan militer, karena permintaan maaf juga atas kesalahan yang dilakukan oleh pimpinan militer pada saat itu dan, tentu saja, terutama oleh para politisi, kabinet. Namun permintaan maaf juga ditujukan kepada para prajurit yang berperilaku seperti prajurit yang baik,” kata Rutte.

Priyantono Oemar





Source link

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Translate »