TEMPO.CO, Jakarta – Staf Khusus Menteri Keuangan, Yustinus Prastowo, menjelaskan langkah pemerintah menaikkan subsidi bahan bakar minyak (BBM) sah sesuai dengan undang-undang. Ketentuan itu sejalan dengan Pasal 23 Undang-undang Dasar 1945 dan aturan lainnya jika terjadi kondisi darurat.
“Menurut Pasal 23 UUD, APBN disusun oleh pemerintah dan DPR. Itu terus dilakukan dan untuk APBN 2022 diatur di UU Nomor 6 Tahun 2021,” ujar Prastowo dalam akun Twitter-nya, @prastow, Ahad, 28 Agustus 2022.
Prastowo menerangkan, bila terjadi perubahan APBN, pemerintah dapat melaksanakannya sesuai dengan Pasal 27 Undang-undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara yang dimintakan persetujuan DPR. Adapun saat terjadi pandemi Covid-19 lalu, pemerintah membuka ruang fleksibilitas anggaran dengan menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang Nomor 1 Tahun 2020.
Beleid itu mengatur perubahan postur anggaran melalui peraturan presiden dengan dasar keadaan genting. Perubahan ini didahului dengan persetujuan DPR. “DPR menyepakati pokok-pokok perubahannya,” tutur Prastowo.
Kemudian, pemerintah pun menerbitkan Peraturan Presiden Nomor 98 Tahun 2022 tentang perubahan atas Perpres Nomor 104 tentang Rincian Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara TA 2022. Di dalam beleid itu diatur besaran subsidi dan kompensasi energi yang melonjak dari Rp 170 triliun menjadi Rp 502 triliun.
“Jadi itu sah dan legal. Tidak perlu ada yang dirisaukan,” kata Prastowo.
Pemerintah berencana untuk menaikkan harga BBM jenis Pertalite dan Solar menguat beberapa waktu terakhir. Kenaikan harga ini menjadi salah satu opsi mencegah bocornya subsidi BBM.
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengungkapkan mayoritas BBM bersubsidi dinikmati oleh orang kaya. “Jadi yang orang miskin tadi, dari ratusan triliun subsidi itu, dia hanya menikmati sangat kecil,” katanya dalam rapat kerja Komite IV DPD dengan Menteri Keuangan, Bappenas, dan Bank Indonesia pada Kamis, 25 Agustus 2022.
Ia menjabarkan Pertalite, misalnya, dikonsumsi oleh 30 persen orang terkaya dan Solar subsidi digunakan oleh 40 persen orang terkaya. Adapun total anggaran subdidi untuk Pertalite, 86 persen di antaranya dikonsumsi oleh 30 persen orang terkaya.
Sedangkan untuk Solar subsidi, kata Sri Mulyani, dari total anggaran subsidi Rp 143 triliun, orang kaya dan dunia usaha menikmati Rp 127 triliun di antaranya. Artinya, ada 89 persen dari total subsidi solar dipakai oleh orang kaya.
Bendahara negara menyebutkan penjualan BBM subsidi yang salah sasaran adalah konsekuensi yang harus ditanggung dari mekanisme penyaluran subsidi terhadap barang. Sebab, dengan begitu, tidak ada larangan bagi siapapun untuk membeli BBM bersubsidi.
Artinya, orang kaya yang notabene bukan sasaran BBM subsidi masih bisa mengkonsumsinya. Padahal, seharusnya subsidi hanya menyasar masyarakat miskin dan rentan miskin. Sebab, merekalah yang akan sangat terdampak oleh gejolak harga barang bersubsidi.
“Memang kalau subsidi melalui barang, dan barang itu dikonsumsi orang mampu, ya kita menyubsidi orang mampu,” tutur Sri Mulyani. “Memang ada orang-orang yang tidak mampu dan miskin tetap juga menikmati barang itu, tetapi porsinya kecil.”
BISNIS
Baca juga: Benarkah Pertamina Bisa Bangkrut Karena Masalah BBM Bersubsidi?
Ikuti berita terkini dari Tempo di Google News, klik di sini
Recent Comments