TEMPO.CO, Jakarta – Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawari mengatakan windfall profit penerimaan negara dari lonjakan harga-harga komoditas tidak akan cukup menutupi bengkaknya subsidi dan kompensasi energi sebesar Rp 698 triliun dari semula Rp 502,4 triliun.
Dia menjelaskan, total windfall yang masuk ke penerimaan negara mencapai Rp 420,1 triliun. Namun surplus anggaran ini dinilai tidak cukup mengakomodasi kebutuhan subsidi energo.
“Dengan penerimaan yang nambah Rp 420 triliun pun yang kita pakai semua untuk subsidi energi, pertalite, solar dan LPG 3 kilogram dan listrik itu enggak akan cukup. Seluruh windall profit dipakai semua tidak akan cukup karena akan habis,” kata Sri saat konferensi pers di kantornya, Jumat, 26 Agustus 2022.
Apalagi, dia melanjutkan, untuk total pembayaran subsidi dan kompensasi energi yang telah membengkak pada tahun ini ditagihkannya selalu di akhir tahun karena harus diaudit terlebih dahulu oleh Badan Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP). Makanya, surplus APBN yang selalu terjadi pada bulan-bulan awal tahun ini juga akan berpotensi tergerus di akhir 2022.
“Karena tagihannya nanti ditagihkan ke kami September atau Oktober tagihanya yang Rp 502 triliun itu baru akan datang saat setelah diaudit BPKP September. Makanya APBN kita akan mulai adjust, surplus-surplus dengan SiLPA Rp 302,8 triliun tadi akan langsung habis aja bayar itu,” ujar Sri Mulyani.
Menurut dia, kondisi ini disebabkan harga minyak mentah dunia, kurs rupiah terhadap dolar Amerika Serikat, dan konsumsi energi masyarakat yang lebih tinggi akan membuat subsidi dan kompendasi energi hingga akhir 2022 lebih tinggi dari alokasi yang sudah jebol di level Rp 502,4 triliun itu dari semula Rp 152,5 triliun di APBN sebelum Perpres 98 Tahun 2022 terbit.
Untuk minyak mentah dunia, dia mengatakan, proyeksi APBN hanya US$ 100 per barel sedangkan realisasinya saat ini tembus US$ 105 per barel. Kurs rupiah dari Rp 14.450 per dolar AS menjadi Rp 14.700 per dolar AS, dan konsumsi pertalite naik dari kuota 23,05 juta per kiloliter menjadi 29,07 juta sedangkan solar 15,1 juta menjadi 17,44 juta kiloliter.
“Maka kita masih akan perlu lagi menambah anggaran subsidi dan kompensasi dari Rp 502,4 triliun perlu ditambah lagi Rp 195,6 triliun. Artinya jumlah subsidi kita akan mencapai Rp 698 triliun dengan volume, kurs dan harga minyak sekarang,” ucap Sri Mulyani.
Oleh sebab itu, Sri Mulyani mengatakan, jika subsidi energi ini tidak dilakukan penyesuaian mulai saat ini, maka dia bisa memastikan bebannya akan berlanjut dalam APBN 2023 maupun APBN 2024. Padahal, dia mengatakan, Undang-undang Nomor 2 Tahun 2020 mengamanatkan defisit APBN harus di bawah 3 persen.
“Jadi kalau ada tagihan 2022 lebih dari separuh udah kepakai untuk bayar 2022 kita bisa bayangkan 2023 pasti anggaran subsidi kompensasi jadi tidak mencukupi. Nanti akan menimbulkan yang sama lagi artinya akan menimbulkan snowballing efek lagi ke belakang,” ujar dia.
Apalagi, dia menegaskan, subsidi energi selama ini juga tidak tepat sasaran dalam penyalurannya karena untuk solar 95 persen dinikamati masyarakat mampu dan juga untuk pertalite 80 persennya dinikmati oleh masyarakat mampu. Karena itu, subsidi energi saat ini katanya harus ada penyesuaian meski tidak harus dihilangkan.
“Semua harus gotong royong yang masyarakat relatif mampu harus berkontribusi lebih banyak ketimbang masyarakat yang tidak mampu. Yang tidak mampu harus kita bantu dengan berbagai instrumen dari mulai bansos sampai subsidi yang tepat sasaran,” ucap Sri Mulyani.
Ikuti berita terkini dari Tempo di Google News, klik di sini
Recent Comments