Memandang Bencana


PERISTIWA banjir rob di kawasan pelabuhan atau wilayah dekat laut (pesisir) merupakan fenomena alam yang kerap terjadi saat purnama. Gravitasi bulan menyebabkan naiknya permukaan air laut. Sepintas itu lumrah. Yang tidak wajar jika air sampai menggenangi daratan dan permukiman sehingga mengganggu, apalagi sampai melumpuhkan aktivitas manusia. Itulah yang terjadi di kawasan Pelabuhan Tanjung Emas, Semarang, baru-baru ini.

Hampir tidak ada media, baik cetak, online, maupun televisi yang tidak mewartakannya. Apalagi, ia telah memenuhi prasyarat sebagai berita sesuai kredo bad news is a good news yang diagungkan para juruwarta selama ini. Namun, yakinlah, seperti kejadian-kejadian sebelumnya, peristiwa itu akan segera berlalu dan dilupakan. Berganti dengan berita kawin cerai artis dan mereka yang terjerat narkoba.

Selama cara pandang kita terhadap bencana tidak diubah, menurut saya, peristiwa semacam itu akan selalu berulang. Banjir rob yang kerap terjadi di kawasan pesisir seharusnya tetap dilihat sebagai bencana berapa pun ketinggian air yang meluber ke daratan sebab bukan kodratnya ia berada di situ. Air seharusnya berada di laut, sungai, atau selokan. Jika ia sampai menggenangi daratan, berarti kita yang tidak becus mengelolanya.

Dalam kasus yang terjadi di Semarang, pemerintah setempat sebetulnya telah beradaptasi dengan membangun tanggul penahan air laut, tetapi jebol. Itu jelas human error. Kita tidak bisa berdalih menyalahkan air yang datang berlimpah. Apalagi, lembaga pemantau cuaca jauh-jauh hari sudah memperingatkan. Itulah pentingnya mitigasi dan kesigapan mengatasi bencana. Langkah itu mungkin bisa dimulai dengan membenahi lagi cara kita dalam melihat fenomena alam.

Di negara ini, para pejabat kita kadang masih saja berdebat soal istilah banjir dan genangan. Padahal, sesuai hukum alam, jelas-jelas air harus mengalir ke sungai, laut, atau menyesap ke tanah, bukan wara-wiri di jalan protokol, apalagi sampai merendam perkantoran atau bertamu di perumahan. Jangankan sampai berhari-hari, beberapa jam saja sudah tidak wajar dan rawan menimbulkan penyakit. Itu artinya ada yang salah dalam tata kota/ruang, termasuk pengelolaan sumber daya air. Itu yang semestinya dibenahi. Bukan malah mengutuki hujan atau berdebat soal istilah normalisasi dan revitalisasi.

Di tengah kondisi iklim yang kian kritis, kesadaran dan cara pandang kita terhadap lingkungan pun semestinya semakin kritis. Apalagi dunia kini semakin terhubung dan mobilitas manusia kian masif. Apa yang terjadi di suatu wilayah/negara dapat dengan mudah berdampak ke wilayah/negara lainnya. Pandemi covid-19, salah satu contohnya. Begitu pun dengan lapisan es di kutub utara/selatan yang makin mencair, telah menyebabkan banjir di mana-mana. Belum lagi kebakaran hutan dan sebagainya.

Oleh karena itu, dalam pertemuan Global Platform for Disaster Risk Reduction di Bali, pekan ini, para pemimpin dunia sepakat menyerukan perlunya kerja sama global untuk meningkatkan resiliensi (ketahanan) terhadap bencana. Kerja sama ini tentu saja bukan terbatas di kalangan elite, melainkan juga butuh partisipasi aktif seluruh elemen masyarakat, termasuk media. Apalagi, Indonesia, negara yang dikelilingi gunung api, rawan dilanda petaka, mulai gempa hingga tsunami. Pencurian alat pendeteksi tsunami, bendungan, atau jembatan yang retak dan reot, misalnya, semestinya lebih urgen diwartakan ketimbang menyoroti perilaku para crazy rich demi mengejar ad-sense dan clickbait. Bencana alam sangatlah menakutkan, tapi kekurangpedulian kita terhadap kondisi lingkungan sekitar justru jauh lebih mengerikan.






Source link

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Translate »